Beijing, 11/3 (ANTARA) - Kartu kesehatan internasional yang diluncurkan Kementerian Luar Negeri China (MFA) pada 8 Maret lalu, yang berfungsi mirip dokumen perjalanan selama pandemi COVID-19, mendapat sambutan hangat dari sejumlah negara.Beberapa negara dan organisasi internasional telah menyatakan keinginannya untuk mengakui paspor kesehatan tersebut, demikian pernyataan pers MFA yang diterima ANTARA di Beijing, Kamis."Kami berharap kartu ini bisa memfasilitasi perjalanan lintas-batas dan arus pertukaran individu dalam keadaan sehat, aman, dan tertib," kata jubir MFA Zhao Lijian.Seperti diberitakan ANTARA sebelumnya MFA meluncurkan sertifikat kesehatan internasional yang dapat dipindai melalui telepon seluler dengan menggunakan salah satu aplikasi program mini.Kartu tersebut mengadopsi sistem pemindaian kartu kesehatan (jiangkangbao) yang diaplikasikan di sejumlah kota-kota besar di China, termasuk Beijing, bagi siapa saja yang hendak mengunjungi pusat perbelanjaan, fasilitas umum, dan instansi pelayanan publik.Mengutip pendapat beberapa pakar, media di China melaporkan bahwa beberapa negara yang mendapatkan pasokan vaksin dari China sangat berpeluang bekerja sama saling mengakui paspor kesehatan tersebut.Malaysia, Singapura, dan Indonesia diperkirakan akan segera mengaplikasikan sistem itu.Demikian pula dengan negara-negara lain di Asia Tenggara ditambah Korea Selatan dan Jepang yang akan menerapkannya untuk memulihkan iklim berusaha yang terganggu pandemi COVID-19.Sertifikat itu memungkinkan pemerintah di beberapa negara melakukan verifikasi terhadap pemegang sertifikat kesehatan yang di dalamnya mencakup informasi personal, hasil tes asam nukleat, hasil tes serum, vaksinasi, dan informasi lainnya.Hasil pemindaian sertifikat tersebut juga bisa dicetak dengan kertas biasa sehingga bisa digunakan sebagai dokumen perjalanan. (BP/Ist)

JAKARTA, BALIPOST.com – Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perlu sejumlah pertimbangan karena pesatnya penggunaan internet. Sementara pemanfaatan ruang digital oleh warga belum optimal untuk hal yang positif. “Iklim di dunia cyber memerlukan etika berkomunikasi agar kebebasan pribadi tidak melanggar kebebasan orang lain,” kata Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto dalam webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE,” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu (10/3).

Wawan menyampaikan, BIN aktif melaksanakan patroli siber 24 jam guna menangkal konten-konten negatif yang merugikan kepentingan publik dan menciptakan instabilitas sosial politik di Indonesia. Ia bahkan menyebut sejumlah kerusuhan di dunia nyata dimulai dari ujaran kebencian di media sosial.

“Kami dalam patroli menyampaikan peringatan-peringatan kepada para pengguna. Bagi mereka yang kebetulan kebablasan, kami terus ingatkan,” ujarnya.

Segelintir orang memanfaatkan kebebasan tanpa mempertimbangkan apa yang telah dilakukannya. Tanpa disadari, kritik yang awalnya dilindungi berubah pada pencemaran nama baik, ujaran kebencian, fitnah, doxing, hingga menyebarluaskan data pribadi seseorang ke ranah publik. Ujaran kebencian tersebut memecah belah persatuan, bahkan untuk tataran yang lebih jauh perbuatan itu bisa menimbulkan atau memicu genosida.

“Beberapa dari kasus tersebut di antaranya pencemaran nama baik, ancaman terhadap presiden, kerusuhan di Kendari pada 17 September 2020 namun dilakukan melalui media sosial,” paparnya.

Pembicara lainnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono membeberkan data laporan kepolisian terkait UU ITE meningkat setiap tahunnya. “Pada tahun 2018 itu ada laporan polisi 4360. Kemudian 2019 meningkat jadi 4586. Kemudian 2020 meningkat lagi menjadi 4790. Ini kecenderungannya laporan polisi terkait UU ITE meningkat,” sebut dia.

Baca juga:  Atal: Atlet Itu Didesain, Tidak Tiba-tiba Ditemukan

Menurut Rusdi, tidak semua kejadian yang menyangkut UU ITE tersebut dilaporkan sampai menjadi satu laporan polisi. “Tentunya apabila dilaporkan semuanya ini akan lebih banyak lagi,” imbuhnya.

Kemudian dari permasalahan-permasalahan yang sering membuat gaduh di dunia maya, urutan pertama adalah pencemaran nama baik. Data laporan polisi terkait ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

“2018 itu ada 1.258 laporan polisi. Kemudian 2019 meningkat menjadi 1.333 laporan pilisi. Dan pada tahun 2020 meningkat lagi menjadi 1.794 laporan polisi yang menyangkut pencemaran nama baik,” urainya.

Urutan kedua ditempati ujaran kebencian. Pada tahun 2018 sebanyak 238 laporan polisi, 2019 mencapai 247 laporan polisi dan 223 laporan polisi di tahun 2020. “Setiap tahun ujaran kebencian menjadi laporan polisi cenderung di atas 200 angkanya,” jelasnya.

Selanjutnya terkait informasi hoaks atau bohong. “2018 itu 60, 2019 ada 97, dan 2020 menjadi 197 laporan polisi yang menyangkut hoaks,” ujar Rusdi.

Namun begitu, banyaknya tersangka atau barang bukti yang diserahkan ke Kejaksaan tidak bisa dijadikan penilaian keberhasilan kinerja Polri pada era kekinian. Tapi, bagaimana polisi mampu mencegah tindak kejahatan, masyarakat tidak menjadi korban kejahatan dan juga mencegah munculnya pelaku-pelaku kejahatan.

“Ini yang senantiasa menjadi bagi Polri bagaimana ke depan sisi-sisi pencegahan itu menjadi sesuatu yang dominan di dalam pelaksanaan tugas di lapangan,” terangnya.

Lantas bagaimana polisi menyiasati situasi kekinian ketika pengkajian ataupun revisi UU ITE berjalan, di sisi lain UU ini masih berlaku di masyarakat?  “Polisi tentunya melakukan langkah-langkah disesuaikan dengan harapan masyarakat. Keinginan presiden menjadi pertimbangan yang perlu dipahami oleh Polri,” jelasnya.

Baca juga:  Kenaikan Kasus DBD Belum Capai Titik Maksimal

Berdasarkan aturan-aturan yang ada dalam internal, jelas Rusdi, dapat dilihat melalui Peraturan Kapolri Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pada Pasal 1 ayat 27 itu di mana satu perkara pidana melalui proses mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa pelapor, terlapor, maupun pihak-pihak yang dianggap mampu menyelesaikan suatu masalah.

Kedua bisa dilihat dari Surat Edaran Nomor 2 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika dan Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Di mana dalam SE tersebut penyidik berprinsip ultimum remedium dan mengedepankan restorative justice dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum yang berhubungan dengan UU ITE itu sendiri.

“Tentunya melihat situasi kekinian, jangka pendek yang bisa dilakukan oleh Polri adalah mediasi jadi salah satu solusi terhadap kegaduhan implementasi daripada UU ITE,” terangnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf berpendapat, jika dilihat dari segi hukum revisi UU ITE tersebu sebenarnya ingin memadukan, menemukan, mengintegrasikan citra hukum dengan keadilan, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo. “Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki,” ujarnya.

Setelah itu, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika yakni, memastikan soal kepastian hukum. Di sisi masyarakat, revisi atau perubahan tersebut harus ada manfaatnya. Ia pribadi cenderung mendorong DPR menginisiasi revisi UU ITE mengingat lembaga ini mewakili rakyat.

Anggota Komisi I DPR, Sukamta setuju agar UU ITE segera direvisi. Namun hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah, termasuk DPR. Sukamta berpendapat, maraknya pelaporan ke polisi atas pelanggaran UU ITE, justru mengancam kebebasan pers yang selama ini sudah berjalan benar. “Mengutip data pemidanaan terhadap jurnalis atau media pada 2018 dan 2019 ini menjadi yang tertinggi, banyak pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE ini jelas saya kira menjadi kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers di dalam UU No 40/99 Tentang Pers,” tutur Sukamta.

Baca juga:  Transaksi Online Tak Pengaruhi Omzet Pedagang di Pasar Semarapura

Founder Media Kernel, Ismail Fahmi melihat pro revisi UU ITE sangat besar. Di sini menurut dia, peran utama media massa untuk membangun percakapan publik yang benar.

Dr Ismail Fahmi Ph. D, yang merupakan pakar IT menjelaskan bahwa selama ini berbagai laporan dikelompokkan ke berbagai profesi, diantaranya profesi yg dilaporkan, 37,5 persen terlapor 69 adalah kelompok kritis seperti Jurnalis/Media (19), Aktivis (24), Dosen/Guru (19) dan buruh (7). Kemudian 56 persen lainnya, yang menjadi terlapor sebanyak 103 berstatus warga biasa.

“Sementara itu profesi yang melaporkan terdiri dari 68 persen, pelapor orang yang memiliki kekuasaan terdiri dari 42 persen merupakan pejabat publik, 22 persen kalangan profesi dan 4 persennya kalangan yang berpunya. sedangkan yang 23 persennya, pelapor berstatus sebagai warga biasa,” jelas Ismali Fahmi.

Webinar yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan profesi ini dimoderatori oleh Wina Armada dan dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari, juga dihadiri oleh Sekjen PWI Pusat, Mirza Zulhadi, Wakil Sekjen Suprapto Sastro Atmojo dan Wakil Bendahara PWI Pusat, Dar Edi Yoga. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *