JAKARTA, BALIPOST.com – Ketegangan tensi politik yang menyebabkan terjadinya kekakuan hubungan sejumlah tokoh nasional yang tak kunjung mereda hingga saat ini menjadi perhatian khusus dalam Pidato Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2017 yang disampaikan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan di Gedung Nusantara Utama, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).
Dalam amanat pidatonya, Zulkfli Hasan mengajak para tokoh bangsa saat ini untuk belajar saling memahami arti persahabatan para pendiri bangsa yang tetap menjaga persahabatan meski berbeda pandangan dan kepentingan politik.
Ketua MPR menegaskan para Bapak Bangsa sudah mencontohkan bahwa perbedaan pendapat dalam bernegara tak membuat hubungan pribadi merenggang dan menjauh. Karena dibalik pangggung politik mereka yang dinilai besar, tetapi para Bapak Bangsa adalah pribadi-pribadi yang agung, rendah hati, dan bersahabat. “Di balik panggung tersebut, para pendiri bangsa ini tak menyimpan kedengkian dan dendam. Indonesia adalah bangsa besar. Bukan hanya besar di atas kertas berupa gagasan dan dokumen, tapi juga besar dalam perilaku sehari-hari, keteladanan, dan budaya serta nilai-nilai,” kata Ketua MPR.
Sejumlah kisah persahabatan para pendiri bangsa disebut Zulkifli untuk kiranya bisa diteladani para tokoh bangsa saat ini untuk bisa diambil pelajaran. “Kita ingat bagaimana kisah persabatan Pak Kasimo dan Pak Natsir yang bersepeda bersama setelah debat sengit di parlemen,” kata Zulkifli.
Saat itu, menurut Ketua MPR, Pak Prawoto, mantan wakil perdana menteri dan saat itu menjadi wakil ketua Konstituante, adalah pribadi yang jujur, berdedikasi, dan sangat sederhana. “Ia tak kunjung memiliki rumah. Tetapi ketika hendak membeli rumah yang sudah lama ia kontrak, Pak Kasimo lalu membantunya,” sebut Ketua MPR.
Lain kisah lagi, Ketua MPR menyegarkan ingatan bangsa ini yaitu persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta yang tetap hangat dan akrab, meski mereka berbeda pandangan yang tak ada titik temunya tentang demokrasi.
Kisah lainnnya, adalah kisah persahabatan Pak Simatupang dengan Pak Kasman dan Pak Prawoto ketika sama-sama bergerilya akibat agresi Belanda. Juga kisah Buya Hamka bergegas untuk mengimami solat jenazah Bung Karno kendati telah dipenjarakan oleh Bung Karno tanpa proses peradilan. “Keteladanan para Bapak Bangsa tersebut sangat penting untuk dibuka lagi di masa kini,” pesan Ketua MPR.
Untuk memaknai persahabatan para pendiri bangsa itu oleh para tokoh bangsa saat ini, Ketua MPR mengajak renungan kata-kata begitu dalam yang diwasiatkan pendiri ormas terbesar saat ini, Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari. Beliau berwasiat, “Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan, dan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya.”
Dalam konteks itu pula, Ketua MPR juga mengingatkan kepada semua pihak di segala lapisan masyarakat bahwa saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi memprihatinkan akibat abai pada keteladanan para Bapak Bangsa kita. “Kita kurang empati pada sesama anak-anak Bangsa. Selalu menganggap diri yang paling benar,” tegasnya.
Oleh karena itu, jika ada pihak-pihak yang melakukan klaim-klaim sebagai yang Pancasilais dan menuduh yang lain tidak Pancasilais, maka yang bersangkutan harus belajar lagi tentang sejarah Pancasila. Ketua MR mengajak semua pihak bersikap bijak, dewasa, dan satria. (Hardianto/balipost)