Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Zona hijau jadi harapan baru sektor pariwisata Bali. Pemerintah berkomitmen mempersiapkan kawasan yang terlindungi dari penyakit Covid-19 atau Zona Hijau di tiga lokasi di Bali, yakni Nusa Dua, Sanur dan Ubud. Bagaimanapun, pengendalian Covid-19 tetap menjadi syarat utama bergeraknya roda ekonomi pariwisata.

Sebelumnya pemerintah bersama pelaku industri pariwisata telah menerapkan program sertifikasi protokol kesehatan bidang pariwisata yang diberikan kepada Usaha Pariwisata, Destinasi Pariwisata, dan Produk Pariwisata lainnya. Sertifikasi ini sebagai jaminan kepada wisatawan terhadap pelaksanaan Kebersihan, Kesehatan, Keselamatanm dan Kelestarian Lingkungan. Atau lebih kita kenal sebagai sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Environment Sustainability).

Penetapan tiga lokasi di Bali –Ubud Kabupaten Gianyar, ITDC Nusa Dua Kabupaten Badung, dan Sanur Kota Denpasar- dalam program Zona Hijau adalah menjadi bagian dari Free Covid-19 Corridor (Koridor perjalanan bebas Covid-19). Program Zona Hijau ini berlanjut dengan vaksinasi terhadap para pelaku usaha pariwisata, petugas pelayanan masyarakat, tokoh agama dan adat, serta lansia; sebagaimana yang ditinjau oleh Presiden Jokowi di Puri Ubud.
Hanya saja jangan disalah artikan bahwa tiga lokasi itu sudah merupakan zona hijau yang bebas virus Covid-19; karena kenyataannya di tiga kawasan tersebut masih selalu terjadi kasus positif baru setiap harinya. Lebih tepatnya tiga lokasi itu dipacu agar berubah menjadi zona hijau dengan tidak adanya tambahan kasus positif; dan menjadi contoh bagi kawasan lain.

Baca juga:  Menanti Wajah Arsitektur IKN

Upaya tersebut antara lain dengan dilakukannya vaksinasi massal di tiga lokasi tersebut, agar tercipta herd immunity (kekebalan komunitas) atas virus Covid-19. Namun perlu dicatat bahwa situasi ini bersifat jangka pendek, karena tetap terjadi pergerakan tinggi warga lokal dan mobilitas wisatawan yang tidak dapat dicegah. Sehingga zona hijau dapat berubah warna lagi.

Ada beberapa indikator yang harus dipenuhi agar suatu kawasan masuk dalam kategori zona hijau. Antara lain transmisi lokal harus rendah, kasus harian semakin menurun/terkendali, testing dan tracing harus ditingkatkan. Sesuai standar WHO setiap terjadi satu kasus positif baru, maka harus dilakukan tracing minimal 30 orang yang pernah melakukan kontak dengan pasien.

Baca juga:  "Tuak adalah Nyawa"

Juga dibutuhkan herd immunity melalui cakupan vaksinasi minimal 70 % dari jumlah penduduk yang ada, dengan efikasi vaksin sebesar 65 %. Serta diperlukan dukungan perilaku masyarakat yang sepenuhnya taat terhadap protokol kesehatan. Hal ini mengingat bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mengontrol mobilitas masyarakat di wilayah yang lain.

Jika memang bulan Agustus 2021 menjadi target pembukaan wisatawan asing, maka semua indikator tersebut sudah harus dapat dipenuhi di tiga lokasi zona hijau Ubud, Nusa Dua dan Sanur. Jika pada tiga lokasi tersebut belum terpenuhi indikator zona hijau, maka terlalu berisiko untuk membuka kawasan tersebut bagi wisatawan. Karena belum bebas Covid-19.

Sehingga indikator zona hijaulah yang menjadi penentu waktu dibukanya Bali bagi wisatawan.
Jika indikator zona hijau sudah terpenuhi di tiga lokasi yang ditentukan sebagai Free Covid-19 Corridor tersebut, bukan berarti Bali telah menjadi zona hijau. Karena masih ada wilayah lain di Bali yang masih belum jelas masuk zona warna apa.

Baca juga:  Membudayakan Kecakapan Beradaptasi

Kita tidak bisa membatasi pergerakan wisatawan yang datang ke Bali hanya pada area tiga kawasan zona hijau tersebut. Dokumen kesehatan wisatawan menjadi salah satu instrumen yang dapat membantu mencegah penularan virus Covid-19 dari wisatawan.

Wisatawan sebagai pelaku perjalanan lintas wilayah tentu saja menjadi wajib untuk memiliki dokumen kesehatan yang menunjukkan hasil negatif uji rapid test antigen atau negatif uji swab berbasis PCR. Harus disadari bersama, bahwa sebaiknya kita mewujudkan seluruh Bali zona hijau, bukan mewujudkan zona hijau pada beberapa wilayah administratif saja, dimana pergerakan manusianya akan sulit dikontrol.

Hal ini mengingat bahwa virus tidak mengenal batas administratif, namun pergerakan virus dapat dikontrol dengan batas geografis. Ini sangat mungkin bagi Bali, mengingat secara geografis Bali adalah sebuah pulau tersendiri.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *