I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Pandemi tampaknya juga mengubur Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sejak 2015 lalu bergelora dengan ikon “15 Menit Membaca”. Terlepas dari pandemi dunia, GLS belum sanggup beranjak ke tingkat yang lebih lanjut, yakni literasi dalam pembelajaran yang sesungguhnya sangat mungkin dilakukan secara terintegrasi dengan PBM (Proses Belajar Mengajar) di kelas.

Ada sejumlah kelemahan GLS sehingga belum menunjukkan hasil yakni terciptanya sekolah literat yang didukung oleh tumbuhkembangnya budaya literasi siswa dan guru. Kelemahan itu adalah sikap guru yang meremehkan GLS karena sejatinya guru-guru (kita) memang belum literat.

Dalam kebijakan Gerakan Literasi Nasional (GLN) dinyatakan fase selanjutnya GLS adalah mengintegrasikan literasi ke dalam pembelajaran. GLS tetap jalan di tempat karena guru tidak tahu cara mengimplementasikan integrasi literasi dalam pembelajaran. Sementara itu, kebijakan literasi dari Jakarta, khususnya pada GLS belum kunjung turun juga.

Sejalan dengan kondisi tersebut, esai ini bermaksud memberi sumbangan pendapat untuk meningkatkan kualitas GLS menuju fase integrasi ke dalam PBM. Esai ini akan bergerak ke tahun-tahun lampau, ketika sekolah menganut Kurikulum 1975. Ada beberapa pokok yang penting terkait GLS dalam kurikulum ini.

Baca juga:  Minim, Minat Generasi Milenial Jadi Pustakawan

Pemerintah mencetak atau menerbitkan seluruh buku pelajaran sekolah di penerbit negara atau Balai Pustaka dan setiap buku pelajaran diberi label “Milik Negara”. Kaitan erat buku ini dengan literasi adalah prinsip dasar penyusunan materi pelajaran yakni dalam bentuk teks atau bacaan yang berimplikasi literasi sangat kuat. Bentuk buku pelajaran yang berupa buku teks atau buku bacaan umum mengindikasikan model atau cara guru mengajar dan siswa belajar di sekolah.
Pada masa Kurikulum 1975, dengan buku pelajaran berlabel “Milik Negara” dikembangkan bentuk kegiatan praktis di kelas, yaikni siswa membaca. Lewat membaca siswa mendapat pengetahuan. Ini adalah yang hakiki dari praktik literasi. Guru mengawali kegiatan belajar dengan “Anak-anak, silakan buka halaman sekian, dan bacalah!”. Siswa membaca materi bacaan yang ditunjuk guru.

Selama siswa membaca, menjadi kegiatan pokok, pertama dan utama, kelas sunyi (kecuali di SD kelas rendah karena guru masih mempraktikkan membaca bersuara). Setelah waktu membaca cukup, maka guru mulai mengambil peran, misalnya mengajukan pertanyaan yang terkait dengan materi, meminta siswa menyampaikan ringkasan, menjelaskan kata-kata sulit, atau mungkin hanya menanyai siswa tentang daya tarik bacaan atau materi yang sudah dibaca.

Baca juga:  Pandemi dan Pelajaran dari Puputan Margarana

Ketika itu, dengan pelajaran yang diawali dengan membaca, guru sesungguhnya telah mengajar dengan metode teks (yang dikenal dengan pembelajaran berbasis teks, Kurikulum 2013). Perubahan kebijakan pengadaan (penerbitan) buku pelajaran dengan masuknya penerbit-penerbit swasta (tahun 1980) dan dalam tahun-tahun yang berdekatan, LKS menguasai sekolah dan menggeser buku pelajaran yang sudah semakin dangkal karena hanya berupa ringkasan-ringkasan materi, terjadi pada semua mata pelajaran.

Guru menguasai kelas dengan menceramahkan atau melisankan ringkasan materi di dalam LKS. Kesempatan siswa berlatih dan membiasakan membaca untuk mendapat informasi atau pengetahuan, seperti siswa sebelumnya pada Kurikulum 1975; tidak ada lagi. Praktis model pembelajaran ini membunuh minat baca siswa. Mereka dilatih mendengar pokok-pokok materi dan membaca LKS dangkal dan kering.

Baca juga:  Arah Baru Panggung Literasi di Bali

Telah berkali-kali terjadi perubahan kurikulum, sejak 1975 namun tidak ada yang menyadari bahwa telah terjadi penyimpangan mendasar dalam pendidikan yakni siswa dididik dalam kultur lisan. Siswa dibuat tidak mampu lagi mendapat pengetahuan dengan cara membaca dan sejatinya hal ini dapat dilakukan sendiri sehingga tidak lagi bergantung pada ceramah-ceramah guru yang semakin hari makin dangkal karena hanya bergantung pada LKS.

Tahun 2015 dengan GLS, sekolah mulai menyadari kondisi buruk yang sedang melanda, yakni kemampuan literasi siswa sangat rendah karena pendidikan tidak pernah menjadikan mereka memiliki budaya baca. Di tengah kondisi inilah GLS diharapkan akan sanggup menjadikan siswa literat, berbudaya baca tulis. Pola dan model GLS yang sedemikian rupa, memang tidak sanggup mengatasi persoalan yang ada.

Penulis Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *