Arie Hendrawan. (BP/Istimewa)

Oleh Arie Hendrawan

Netizen atau warganet Indonesia baru-baru ini menyandang gelar sebagai pengguna internet yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Label itu diberikan oleh Microsoft, berdasarkan survei Digital Civility Index (DCI) sepanjang tahun 2020. Ironisnya, tidak berselang lama setelah survei tersebut dirilis, akun IG Microsoft pun ramai diserang warganet Indonesia hingga kolom komentarnya dinonaktifkan.

Hal itu kontradiktif dengan citra masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal ramah dan kental akan budaya ketimuran. Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan warganet kita menjadi sangat “barbar” di dunia maya? Untuk menjawab pertanyaan itu, para ahli telah banyak berpendapat dengan sejumlah teori, mulai dari faktor lemahnya literasi, kesulitan ekonomi, sampai kefrustasian karena Pandemi Covid-19.

Namun sebelum terlalu jauh berasumsi, sesungguhnya ada pertanyaan umum yang perlu dijawab terlebih dulu, yakni mengapa seseorang cenderung lebih berani di dunia maya? Filsuf Prancis, Emmanuel Lévinas (1985), mengemukakan konsep “face-to-face relation”. Menurutnya, pertanggungjawaban etis terhadap orang lain akan terbentuk melalui interaksi tatap muka. Tetapi tidak di internet, yang bersifat virtual.

Baca juga:  Kompleksitas dan Eksistensi Perguruan Tinggi

Senada dengan konsep tersebut, pengamat psikososial dan kultural Endang Mariani (2021) juga berargumen, bahwa orang menjadi lebih berani di internet, sebab mereka bisa menyembunyikan identitas aslinya (anomim), sehingga merasa tidak mempunyai tanggung jawab moral dan material. Jadi, warganet cenderung berinteraksi secara spontan, tanpa banyak mempertimbangkan konsekuensi dan dampaknya.

Menurut laporan terbaru dari HootSuite dan We Are Social, pada awal tahun 2021 ini, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai angka 202,6 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 yang lalu. Dengan total penduduk Indonesia saat ini berjumlah 274,9 juta jiwa, artinya penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen.

Angka tersebut menunjukkan, jumlah warganet Indonesia yang sangat besar. Mereka merupakan masyarakat yang telah melek internet dan menjadi bagian dari masyarakat digital dunia. Untuk itu, mereka harus dibekali pengetahuan tentang kewargaan digital sebagai karakteristik warga negara digital. Menurut Mossberger dan Tolbert (2008), kewargaan digital adalah kecakapan berpartisipasi dalam komunitas online.

Baca juga:  Tantang Kreativitas Anak Muda, Gelaran Scoopy Style Diikuti Ratusan Ribu Netizen

Sebagai warga digital, warganet Indonesia semestinya sadar akan hal yang baik dan buruk dalam teknologi, mampu menampilkan kecerdasan perilaku teknologi, dan juga membuat keputusan yang tepat ketika menggunakan teknologi. Kesadaran itu terkait erat dengan salah satu komponen dalam kewargaan digital, yaitu etika digital. Etika digital dibuat untuk menjaga perasaan dan kenyamaan user lainnya.

Keadaban Digital
Dalam definisi yang lebih luas, etika digital juga bisa disebut sebagai keadaban digital. Keadaban digital “menuntun” pengguna teknologi digital untuk saling menghargai dan dapat bertanggung jawab dalam melakukan komunikasi virtual sesuai dengan norma- norma yang berlaku. Untuk mewujudkan itu, kita mengenal konsep “THINK” sebagai perangkat atau sistem tata krama dalam kewargaan digital.

THINK adalah akronim dari True, Hurt Someone, Illegal, Necessary, dan Kind. Sebelum kita berinteraksi di jagat internet melalui media sosial, blog, maupun berbagai platform digital yang lain, hendaknya kita memfilter, apakah postingan kita valid (true)? Apakah akan menyakiti orang lain (hurt some one)? Apakah mengandung informasi tak resmi (illegal)? Apakah itu penting (necessary)? Dan, apakah sesuai kesopanan (kind)?

Baca juga:  UN, Uji Nalar Tinggi Siswa

Sesuai Kurikulum 2013 hasil revisi, materi tentang kewargaan digital dan etika digital masing-masing terdapat dalam KD 3.8 dan 4.8, mata pelajaran Simulasi Digital, kelas X SMK. Sedangkan pada jenis institusi pendidikan lain, seperti SMP/MTs dan SMA/MA, tidak ada satupun mata pelajaran yang memuat materi tersebut. Bahkan, termasuk mata pelajaran PPKn dan Informatika yang tampak memiliki relevansi.

Sementara dalam mata pelajaran informatika di jenjang SMP/MTs maupun SMA/MA, sebagian besar materinya terlalu berorientasi pada hal-hal bersifat teknis-operasional. Informatika hanya dipandang sebagai mata pelajaran tentang data dan informasi pada mesin berbasis komputasi. Oleh sebab itu, kajian mengenai kewargaan maupun etika digital sama sekali tidak tersentuh, apalagi mendapatkan perhatian.

Guru PPKn SMA Islam Al Azhar 14

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *