Salah satu adegan dalam tari kreasi “Eling Bhumi” yang ditampilkan Yayasan Pancer Langiit di Natya Mandala ISI Denpasar, Kamis (29/4) malam. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Memperingati Hari Tari Sedunia yang diperingati tiap 29 April, Pancer Langiit mempersembahkan sesuatu yang spesial. Film berjudul “Lampah Solah” menjadi hadiah bagi para penari.

“Film “Lampah Solah” ini kami persembahkan bagi para penari untuk memperingati Hari Tari Sedunia. Lampah berarti sebuah cerita dan juga bisa berarti langkah atau perjalanan sedangkan solah berarti tari dan juga bisa berarti tingkah laku. Secara sederhananya, lampah solah menceritakan tentang proses perjalanan seseorang menjadi seorang penari,” ungkap Dr. Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn, M.Sn, pendiri Yayasan Pancer Langiit sekaligus penanggung jawab film.

Ia menambahkan dalam film ini mereka mengangkat proses pengajaran dan lika liku yang sempat dialami seorang penari. Baik dari cara mengajarnya yang keras hingga menjadi penari yang bagus. Perjalanan seorang penari kecil yang dihadang banyak kesulitan yang menimpanya.

Baca juga:  Yayasan Pancer Langiit Tampilkan 15 Kostum Terbaik di SeaSandLand

Anak Agung Mas Sudarningsih, S.Sn, M.Pd sebagai sutradara menjelaskan pesan yang disampaikan dalam film ini, menjadi seorang penari bukan hanya sekedar melentikan atau menggetarkan jari jemarimu. “Menjadi seorang penari perlu proses yang panjang untuk menghidupkan setiap tarian yang akan ditarikan,” ujarnya.

Perempuan yang juga memerankan tokoh Ibu ini menambahkan dalam film ini menceritakan Yu Mas (diperankan Ni Putu Arditha Cahya Maharani) ingin meneruskan mimpi ibunya jadi penari hebat. Ada rasa sakit, sedih, masalah yang ia hadapi untuk mencapai tujuan.

Ia berlatih menari di bawah bimbingan Guru yang diperankan Ida Ayu Suarningsih, S.ST. Yu Mas sedih karena ia gagal saat seleksi.

Namun, ia akhirnya mendapat kesempatan untuk tampil. Dalam perjalanan menuju lokasi pentas, ia terjatuh dan bermimpi bertemu ibunya yang memberikan dorongan semangat untuk menjadi penari. “Menari bukan hanya melentikkan jari tapi bagaimana menghidupkan taksu. Menarilah sampai terlahir kembali,” ungkap Gung Mas.

Baca juga:  Sastrawan Ini Terima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama

“Eling Bhumi”
Sementara itu di panggung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kamis (29/4) malam, disemarakkan oleh penampilan apik Yayasan Pancer Langiit. Komunitas seni yang berbasis di Kelurahan Kapal, Mengwi, Badung ini sukses memukau penikmat seni di Bali lewat persembahan karya tari kontemporer “Eling Bhumi”.

Tarian yang komposisi geraknya ditata dengan sangat artistik oleh Ayu Sukma Yanti dan iringan tabuh yang ditata sangat ritmis serta dinamis oleh Kadek Agung Sari Wiguna ini digarap khusus untuk memperingati Hari Tari Sedunia 2021.

Eling Bhumi yang mengeksplorasi kelenturan gerak lima penari perempuan berusia belia ini terinspirasi dari kepanikan dan kecemasan masyarakat dunia menghadapi “badai” pandemi COVID-19 yang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Kepanikan akan kesehatan dan penurunan sumber pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup menghantui masyarakat.

Baca juga:  Layanan Belum Optimal, Kenaikan Tarif Kapal Roro Ditunda

Berbagai upaya telah dilakukan baik dari pemerintah maupun individu untuk mempercepat keluar dari persoalan ini. Namun, hingga kini masih belum ada formulasi yang ampuh untuk melawan pandemi ini.

“Ketika segala upaya sudah dilakukan, satu-satunya jalan yang tersisa yakni mulai mengharmoniskan diri hidup di tengah pandemi COVID-19 ini. Yakni, dengan kembali kepada alam, memahami alam, baik bhuana agung maupun bhuana alit. Saatnya kita kembali berlindung ke sastra-sastra leluhur. Sebab, dari sastra itulah kita akan kembali mendapatkan ajaran penuntun untuk dapat hidup damai di tengah situasi apapun,” ujar koreografer Ayu Sukma Yanti. (Ngurah Budi/cybertokoh)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *