AMLAPURA, BALIPOST.com – Pemerintah daerah sedang menggalakkan pariwisata. Ini sebagai upaya untuk menjadikan pariwisata sebagai tumpuan utama memperoleh PAD, menyusul sumber PAD dari sektor galian C yang terus menurun. Salah satu yang menjadi potensi, adalah pengembangan desa wisata. Tetapi, desa wisata yang sudah ada pun masih sulit berkembang. Bahkan, Desa Wisata Jasri, pemegang predikat desa wisata terbaik nasional, ternyata belum pernah menerima dolar.
Itu disampaikan Bendesa Jasri, I Nyoman Sutirtayasa, saat hadir dalam koordinasi pengembangan destinasi wisata perdesaan dan perkotaan di Villa Warak, Karangasem, Selasa (22/8). Menurutnya, Desa Wisata Jasri memiliki banyak potensi. Selain pantainya yang sudah dikenal, disana juga ada jalur tracking hingga atraksi budaya seperti ter-teran yang sering menyedot perhatian wisatawan. Disana juga sering disasar para peselancar dari wisatawan asing. Tetapi, Sutirtayasa mengaku masih kesulitan mengkemas dan mengembangan desa wisata ini agar menghasilkan dolar.
“Jujur saja, kami desa wisata terbaik. Tidak hanya di Bali, tetapi juga nasional, tapi belum pernah menerima dolar. Selama ini kami hanya sering jadi sasaran studi banding dan lokasi penelitian mahasiswa. Itu saja,” kata Sutirtayasa.
Oleh karena itu, pihaknya meminta petunjuk dari pemerintah daerah dan narasumber, bagaimana pengelolaan yang tepat saat ini, agar desa wisata ini dapat diberdayakan. Selain mampu menambahkan pilihan destinasi wisata di Karangasem, yang paling penting adalah juga mampu memberikan kontribusi pendapatan terhadap desa itu sendiri maupun pemerintah daerah. Terutama, bagaimana menentukan produk utama maupun pendukungnya. Ini untuk memudahkan mengkemas apa yang paling dibutuhkan wisatawan. “Menentukan mana yang menjadi produk primer, tergantung apa yang membuat wisatawan paling tertarik kesana. Setelah itu, kita lebih mudah menyediakan apa saja yang dibutuhkan,” kata Dr. Roza Krisnandhi Kausar, Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila, yang menjadi pembicara dalam acara tersebut.
Dia mencontohkan, seperti Tenganan Pagringsingan, setelah diteliti yang menjadi produk intinya sebenarnya adalah pengalaman mengunjungi desa adat, living heritage dan mempelajari sesuatu yang baru. Sedangkan, yang menjadi produk nyata atau pendukungnya adalah landscape desa, pura, bale dan bangunan tradisionalnya.
Selain itu, disana juga ada produk tambahan, seperti paket tracking dan jelajah sawah, tempat souvenir dan tempat makan. Itu salah satu contoh penerapan konsep destinasi yang baik.
Dia menambahkan, dalam pengembangan produk wisata budaya, memerlukan beberapa pendekatan pemasaran. Yakni dapat menyajikan pengalaman yang bermakna bagi wisatawan. Selain itu, juga mampu memenuhi kebutuhan pengelola untuk tujuan finasial dan non-finansial jangka panjang. Pendekatan pemasaran seperti ini juga mengendalikan bagaimana produk dibentuk dan dikelola, merancang pesan yang disampaikan yang disampaikan kepada wisatawan dan menentukan wisatawan yang diinginkan. “Saya ingin menekankan bahwa, branding is a promise. Branding tanpa manajemen, akan sia-sia. Pengelolaan itu untuk menempati janji branding,” tegasnya.
Kegiatan yang dilaksanakan selama sehari ini, mengundang para pelaku pariwisata, eksekutif dan pengelola desa wisata. Agenda ini disambut cukup antusias, karena rata-rata masih kebingungan untuk mengembangkan wisata di tempatnya. (bagiarta/balipost)