I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Teologi Hindu tidak mengenal kata “Setan”. Masyarakat (umat Hindu) di Bali pun tidak pernah berkenalan dengan yang namanya makhluk setan, apalagi kemudian dikatakan menyembahnya. Pemeluk Hindu hanya memuja dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa), beserta manifestasi-Nya termasuk para Dewa Pitara (Bhatara-Bhatari).

Selain itu, apa yang disebut “makhluk” ciptaan Tuhan yang lain dan berada di posisi lebih rendah dari manusia, seperti danawa/raksasa, detya, yathudana, asura, pisaca, atau yang lebih akrab dikenal para bhuta, tidak pernah juga disembah. Ketika umat Hindu menghaturkan banten pada pohon (Tumpek Bubuh), pada hewan (Tumpek Kandang), mengupacarai motor (Tumpek Landep), menaruh canang pada sebongkah batu/patung, menggelar banten caru di perempatan jalan, dan sebagainya, sama sekali bukan dalam konteks menyembah pohon, hewan, motor, batu/patung, setan, dan sejenisnya.

Melainkan dalam upaya menghargai berkah anugrah ciptaan Tuhan lainnya sebagai satu kesatuan kosmos yang sudah membantu keberlangsungan kehidupan manusia. Setidaknya untuk menjaga atau memulihkan kembali keseimbangan makrokosmos (bhuwana agung) dan mikrokosmos (bhuwana alit) yang sempat terganggu, sehingga terjadi ketidakharmonisan alam dalam bentuk munculnya berbagai macam masalah atau musibah.

Baca juga:  Transformasi Pelayanan Jasa Angkutan Logistik dari Hulu ke Hilir Era Revolusi Industri 4.0

Teologi Hindu yang mono-pantheis, mengajarkan bahwa tiada apapun yang bukan (berasal dari) Tuhan, semuanya adalah Tuhan itu sendiri, sebagaimana disuratkan di dalam pustaka Brahma Sutra I. 1.2 : “Janma Dhyasya Yatah”. Bahwa Tuhan adalah dari mana mula (asal) semua ini. Bahwa Tuhan merupakan asal dari segala yang ada ini. Ini menunjukkan bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Tuhan, baik yang tampak maupun yang tak terlihat. Tuhan adalah penyebab segala apapun yang ada, sebagai prima causa mutlak. Tuhan “mengada” dan kemudian “mengadakan” (menciptakan) segala yang ada, lalu “dipelihara” untuk akhirnya “ditiadakan” kembali.

Kitab Chandogya Upanisad III.14.1 pun menyatakan : “Sarva Khalu Idam Brahman“ yang artinya semua yang ada ini adalah Brahman/Tuhan. Lahir kemudian konsep Tat Twam Asi yang megajarkan umat Hindu untuk kepada siapapun atau apapun agar saling menghargai dan menghormati, sebagai sesama ciptaan Tuhan. Termasuk apa yang oleh oknum tertentu dikatakan sebagai “setan”. Sebab makhluk “setan” itu sendiri sejatinya adalah ciptaan Tuhan (Allah SWT) juga, meski diciptakan berbeda, karena berasal dari api. Abu Abd al-Rahman al-Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamum al-Farahidi, dalam kitabnya al-Ain, menjelaskan, kata dasar “syaithan” (setan) adalah ‘syathana’, yang memiliki makna ‘ba’uda’ atau jauh — jauh dari nikmat Allah SWT (Republika.co.id, Jakarta, Kamis 21 Jan 2021). Para ulama menambahkan, setan adalah ‘sifat’ makhluk yang ‘jauh’ dari Rabb (Pencipta-nya), yaitu Allah Ta’ala. ‘Jauh’ disini juga bermakna ‘melanggar’ (Bicara Hidayah, 7 Januari 2015, situs web pendidikan).

Baca juga:  Adaptasi Hidup Bersama Covid-19

Jika kemudian ada oknum tertentu yang “jauh” dalam arti “melanggar” perintah Tuhan berkaitan dengan pentingnya sikap saling menghargai dan menghormati sesama ciptaan-Nya, merujuk KBBI online, dapat dikatakan juga sebagai “setan” [se·tan], dibaca “sétan” (Kata Nomina/benda), yang diantaranya berarti : “orang yang sangat buruk perangainya (suka mengadu domba dan sebagainya) (Kata kiasan), contoh: ‘pikiran setannya bangkit’. Abdullah Gymnastiar tokoh ulama besar pun menyatakan : “Orang yang suka mengadu domba, dia meniru cara setan ketika menggoda manusia agar saling bermusuhan”.

Baca juga:  Mengapa Orang Bali Buta Aksara?

Jika demikian penjelasannya, maka siapapun dia, jika secara sadar melakukan perbuatan, baik melalui pikiran yang kemudian terucapkan, apalagi disertai tindakan nyata dengan berbagai cara dan media sebagai bukti otentik, tidak salah jika dikatagorikan sebagai “setan”, karena “jauh” (melanggar) perintah Tuhan yang telah mengamanatkan umatnya untuk senantiasa merawat dan menjaga persaudaraan di antara sesama makhluk ciptaan Tuhan, yang memang diciptakan berkelompok-kelompok atau berbeda-beda (menurut suku, agama, ras dan antar golongan). Kalaupun terlalu sarkasme disebut “setan” setidaknya yang bersangkutan sedang “kesetanan”, mengalami kegelapan pikiran akibat mabuk kepintaran. Sehingga berakibat pada terganggunya relasi kebersaman dalam kebhinekaan berasaskan Pancasila.

Penulis, Dosen Universitas Hindu (UNHI) Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *