tradisi
Sembahyang di setra dan di taman makam pahlawan (TMP) menjadi kebiasaan warga di Buleleng dalam perayaan Hari Pagerwesi Rabu (23/8). (BP/mud)
SINGARAJA, BALIPOST.com – Perayaan hari Pagerwesi di Buleleng sejak dahulu selalu dirayakan istimewa oleh Umat Hindu di Bali Utara. Pagerwesi sendiri perayaanya hampir sama dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Satu tradisi yang mewarnai keistimewaan perayaan Pagerwesi di Buleleng adalah persembahyangan Umat Hindu di kuburan (Setra). Kebiasaan turun temurun ini tetap lestari karena diyakini oleh umat se dharma sebagai wujud bakti kepada leluhur yang belum diupacara ngaben.

Perayaan Pagerwesi Rabu (23/8) membuat suasana di Kota Singaraja tampak lenngang. Sejak pagi umat tampak lalulalang menuju pura-pura umum, pura merajan, dadia, atau di instanasi kantor pemerintahan. Selain itu, suasana cukup ramai tampak di kawasansetra milik Desa Pakraman Buleleng. Umat dari beberapa banjar adat di lingkungan Desa Pakraman Buleleng ini menggelar persembahyangan di setra di jantung Kota Singaraja ini.

Baca juga:  Bali Ekspor 25 Ribu Ton Beras Premium

Selain setra, hal yang sama juga dilakukan oleh para keluarga veteran pejuang yang menggelar persembahyangan di Tamam Makam Pahlawan (TMP) Curastana, Singaraja. Sama dengan perayaan Pagerwesi tahun-tahun sebelumnya.

Umat yang datang bergerombol itu membawa sarana upakara banten punjung atau di daerah lain dikenal dengan nama banten soda. Setelah terlebihdahulu membersihkan bekas kuburan sanak keluarga, umat kemudian memulai melaksanakan ritual persembahyangan dengan dipimpin angota keluarga yang dituakan. Dengan banten punjung mereka memohon tuntunan secara niskala kepada leluhur.

Selain itu, umat meyakini persembahyangan di setra untuk menunjukkan rasa kebersamaan merayakan hari raya kendatipun leluhur mereka masih belum diaben. Sebagai ungkapan suka dalam menyambut hari raya, sarana banten punjung atau soda disantap bersama-sama di setra. Tak hanya itu, momen ini dimanfaatkan oleh umat untuk bersilaturahmi dengan sesama umat, sehingga jalinan kebersamaan terjaga dengan baik.

Baca juga:  Menjaga Penutur Bahasa Bali

Kelian Desa Pakraman Buleleng Jro Nyoman Sutrisna, M.M. ditemui di sea-sela persembahyangan Pagerwesi kemarin mengatakan, kebiasaan krama­-nya menggelar persembahyangan di setra menjadi kebiasaan unik dan tidak dimiliki daerah lain. Untuk itu, diirnya bertekad untuk tetap melestarikan tradisi Munjung di hari Pagerwesi atau saat Galungan dan Kuningan.

Kendati krama yang menggelar persembahyangan di setra mulai berkurang, akan tetapi kebiasaan ini tetap digelar. Mengapa kramamulai berkurang bersembahyang di setra, karena upacara pengabenan sudah semakin sering digelar dan juga adanya program ngaben masal. Bahkan, setiap ada kematian, sanak keluarganya sudah langsung bisa menggelar upacara ngaben dengan tingkatan upacara disesuaikan dengan kebiasaan yang dijalankan. Menyusul kondisi itu, tidak banyak lagi krama yang masih memiliki tetaneman (sanak keluarga yang belum diaben-red).

Baca juga:  KPU Bali Sebut Fraksi PDIP Belum Serahkan Berkas LHKPN

“Seperti tadi pagi saya amanti memang mulai sedikit yang datang ke setra bersembahyang ini karena begitu sering umat menggelar upacara pengabenan. Dan memang tradisi Munnjung ini hanya untuk leluhur yang meninggal dan belum diaben atau istilahnya memiliki tetaneman. Tapi walau mulai berkurang, kami tradisi ini tetap dijalankan oleh krama kendati tida lagi memiliki tetanamen di setra,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *