Reza Lukiawan. (BP/Istimewa)

Oleh Reza Lukiawan

Secara geografis, letak wilayah Indonesia yang berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik serta dikelilingi banyak gunung berapi aktif membuat negara kita dekat dan lekat dengan bencana.

Kata bersahabat dengan alam, sebagai sebuah frasa yang perlu disikapi positif dan optimis akan kesiapsiagaan jika sewaktu-waktu bencana alam itu datang. Data BNPB menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 terjadi 2.951 peristiwa meskipun secara jumlah menurun dibandingkan tahun 2019. Namun jika dilihat dari tren kejadian bencana alam sejak tahun 2008 hingga 2020 mengalami peningkatan jumlah.

Bencana alam yang terjadi sebagian besar adalah banjir, tanah longsor dan angin puting beliung. Belum kering menyeka keringat, belum usai menanggulangi bencana non alam pandemi Covid-19 yang sudah lebih dari setahun melanda, kini para pejuang kemanusiaan, para relawan yang dikomandoi BNPB harus berhadapan kembali dengan bencana alam yang baru saja terjadi.

Baca juga:  Nilai Kejujuran Sedang Dipertaruhkan

Terbaru adalah banjir bandang dan angin kencang yang terjadi di Provinsi NTT dan NTB akibat siklon tropis Seroja. Dilaporkan tedapat 181 nyawa yang terenggut, 48 orang masih hilang dan sebanyak 8.424 orang harus mengungsi. Setelah itu disusul gempa yang mengguncang daerah Malang dan sekitarnya yang mengakibatkan 8 orang meninggal serta 39 orang luka-luka.

Melihat banyaknya jumlah korban dari setiap bencana yang terjadi di negeri ini, semestinya menjadi alarm keras atas bagaimana upaya mitigasi bencana dan sejauh mana kesiapsiagaan warga terdampak ketika alam memberikan petunjuk. Sebab kepedulian itu berasal dari setiap individu yang kemudian tergabung dalam kelompok masyarakat paling kecil di tingkat RT/RW dan desa.

Menyikapi kerawanan bencana di negeri ini, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan sebanyak 20 SNI terkait masalah kebencanaan. SNI yang dibuat pun telah spesifik menurut jenis bencana alamnya seperti sistem peringatan dini tsunami, evakuasi erupsi gunung api, hingga peringatan gerakan tanah.

Baca juga:  Yang Hilang dalam Pembelajaran Daring

Efektifkah SNI tersebut diterapkan? Salah satu SNI yang memberikan pedoman bagi ketanggapdaruratan kelompok masyarakat yakni SNI 8357: 2017 desa dan kelurahan tangguh bencana. Dalam SNI ini diidentifikasi apa saja indikator-indikator suatu desa atau wilayah yang dapat dikategorikan siap menghadapi bencana.

Ada beberapa prinsip suatu desa yang tangguh terhadap bencana menurut SNI antara lain menggunakan pendekatan multi budaya, berlandaskan asas perlindungan masyarakat dan berfokus pada upaya pengelolaan risiko. Berpusat pada masyarakat dengan mengutamakan kemandirian dan alokasi sumberdaya lokal, kolektivitas dengan melibatkan dan mempertimbangkan semua pemangku kepentingan. Berbasis pada kearifan lokal, dilakukan secara berkala dan berkesinambungan.

Indikator dasar kedua yaitu penguatan sistem koordinasi pengelolaan risiko bencana. Koordinasi dapat dibentuk dalam forum lintas desa atau wilayah yang rawan bencana sehingga upaya penyelarasan penanggulangan bencana dan cara beradaptasi dapat saling berkesinambungan. Dibutuhkan pula kerjasama multi pihak serta tersinerginya program baik dari pemerintah daerah, lembaga desa, lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan risiko terhadap bencana.

Baca juga:  Moratorium Pengembangan Fasilitas Kepariwisataan di Bali

Tim Respon Cepat (TRC) yang dimiliki BNPB tentu sebagai pihak yang paling pertama terjun ke lokasi bencana akan terbantu tugasnya. Sebab tim ini diberi tugas yang menyangkut banyak aspek dalam setiap kejadian bencana. Tugas dalam kaji cepat bencana dan dampak bencana pada saat tanggap darurat itu antara lain menilai apa saja kebutuhan mendesak, menilai kerusakan dan kerugian serta memberi dukungan pendampingan dalam penanganan darurat bencana.

Penulis peneliti di Badan Standardisasi Nasional, Alumnus IPB    

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *