Oleh Prof. Dr. phil. I Ketut Ardhana, M. A.
Satu berita lagi menggembirakan semeton Bali yakni dipenuhinya janji Gubernur Bali, Wayan Koster ketika melaksanakan masa kampanyenya di masa lalu, jika terpilih nantinya memprioritaskan pembangunan yang pro rakyat Bali. Hal ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi rakyat dan pemerintah Bali dibuktikan dengan diserahkannya 720 SHM oleh Gubernur Bali kepada warga Sumberklampok Kabupaten Buleleng pada 18 Mei 2021.
Ini adalah model pengembangan pembangunan kerakyatan atau dari bawah (from bottom up) dimana semeton Bali merasakan benar-benar diperhatikan pemerintah. Dengan upaya yang dilakukan itu tentu ke depan apa yang diagendakan pemerintah Bali akan memperoleh dukungan maksimal dari semeton Bali karena realisasi program pembangunan pemerintah memang menyentuh rakyat Bali.
Dalam dinamika kehidupan masyarakat Bali pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya tentu mengalami lika-liku yang sangat kompleks, berkaitan dengan bagaimana persoalan tentang tanah di masa lalu. Pada masa Kerajaan Udayana misalnya sebagaimana disebutkan dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Dharmodayana atau Udayana sekitar abad ke-10 dan ke-11, Raja Udayana membagi dan memberikan tanah kepada rakyat miskin agar mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebab kehidupan rakyat pada saat itu tidak lagi berpindah-pindah atau nomaden tetapi sudah menempati wilayah yang pasti sehingga mereka merasa aman dan terhindar dari berkecamuknya perang suku saat itu. Apa yang dilakukan Raja Udayana ini salah satu bentuk perhatian sang raja akan kemakmuran rakyatnya, dimana pada saat itu sang raja memerintah Bali dengan cara-cara demokratis.
Pada masa kerajaan-kerajaan selanjutnya berbagai upaya terus dilakukan untuk memperoleh pengelolaan tanah sebagai aset penting yang dimiliki sebuah kerajaan. Tidak mengherankan jika di masa lalu, terutama dalam sistem kerajaan terjadi proses kawinmawin, sehingga apabila ada seorang anggota kerajaaan yang sudah menikah dengan seorang putri dari wilayah tertentu, maka ia diangkat menjadi seorang pembesar kerajaan yang mewakili kepentingan penguasa pusat kerajaan di wilayah tersebut. Tanah memiliki peran penting tidak hanya sebagai identitas sosial budaya, tetapi juga identitas ekonomi dan politik. Tidak mengherankan juga jika terjadi riak-riak sosial bahkan menjurus konflik berkepanjangan antara beberapa penguasa yang satu dengan yang lainnya dalam memperebutkan masalah tanah atau wilayah di masa lalu.
Dalam masa kependudukan atau penjajahan Belanda di Jawa misalnya, memiliki perhatian penting terhadap tanah-tanah kerajaan untuk dapat diatur dan dikelolanya (Vorstenlanden artinya tanah-tanah kerajaan). Bahkan kemudian diadakan penarikan pajak per desa dalam bentuk pungutan barang seperti hasil panen kelapa atau tanaman pertanian atau palawija lainnya. Kemudian dalam masa kolonisasi Inggris, tampak pungutan pajak kepada penduduk dilakukan tidak lagi per desa, namun sudah perorangan atau individu dan dipungut dalam bentuk uang. Hingga sekarang, kita masih mewarisi sistem pemungutan pajak secara perorangan dan tidak memungut pajak dalam bentuk barang (in natura).
Tampak bahwa pemerintah penjajah menganggap penting tentang status tanah yang ada di wilayah jajahannya. Di sini tampak, bagaimana signifikannya arti tanah bagi rakyat tidak hanya penting dalam konteks sosial budaya dan ekonomi semata, tetapi juga identitas politik. Di sinilah arti pentingnya pemilikan tanah bagi etnis (suku-suku bangsa) dengan perangkat hukum adatnya, sehingga hubungan negara-bangsa (nation-state building) dapat dipertahankan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berlandaskan adat tradisi (kearifan lokal/local wisdom) dan budaya multikultur (multicultural society) yang mengapresiasi nilai-nilai kebhinekaan.
Bagi masyarakat Bali, pemilikian tanah memiliki makna signifikan yang berkaitan dengan struktur dan kultur budaya Bali yang berlandaskan adat dan agama Hindu. Tanah memiliki arti penting, karena dapat dikatakan tidak ada tanah, maka tidak ada identitas. Tanah menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan sebuah identitas etnis. Misalnya saja tidak semua etnis yang ada memiliki identitas budaya seperti yang ada di Bali. Tanah telah menjadi sebuah identitas budaya (cultural identity) dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Dimana dengan konsep desa adat itu sebenarnya semeton Bali diikat dengan hal-hal yang berkaitan nilai-nilai adiluhung dalam kaitannya dengan hadirnya konsep Kahyangan Tiga sebagaimana sudah diwariskan para leluhur yaitu adanya Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Terlebih dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah tentang Desa Adat yaitu Perda No. 4, di Bali sebenarnya merupakan payung hukum yang menjadi landasan bagi praktek-praktek pelaksanaan adat dan agama Hindu yang mampu mensinergikan berbagai kepentingan para stakeholders yaitu antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat desa adat sendiri.
Tentu diharapkan dengan adanya penyerahan SHM oleh Gubernur Bali akan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan seoptimal mungkin dalam kaitannya dengan penguatan adat dan budaya Bali yang bernafaskan agama Hindu. Beruntunglah Bali yang memiliki konsep kearifan lokal yang adiluhung ini akan tetap dapat memperkuat eksistensi atau keberadaan local genius masyarakat Bali. Adanya berbagai regulasi pemerintah daerah Bali tentang penguatan-penguatan desa adat (sustainable community based development) patut diapresiasi dalam kerangka keberlanjutan program-program pembangunan Bali yang pro rakyat. Apa yang diraih selama ini sangat sesuai dengan motto pembangunan Bali yang diperkenalkan Gubernur Bali yaitu “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” baik di masa kini, maupun masa yang akan datang.
Guru Besar Ilmu Sejarah Asia pada Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Udayana,
Ketua Yayasan Pendidikan Widya Kerthi-Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar.