DENPASAR, BALIPOST.com – Pulau Bali sebagai destinasi wisata dunia kerap dijadikan tempat syuting konten asusila oleh oknum wisatawan mancanegara. Bahkan, konten dalam bentuk video amatir yang mereka buat diviralkan di media sosial.
Lokasi syuting video asusila tersebut dilakukan di berbagai tempat. Tidak hanya di vila, juga di destinasi wisata terbuka, bahkan di tempat-tempat suci Hindu.
Akademisi Hukum yang juga Sekretaris DPD Prajaniti Bali, I Made Dwija Suastana, SH.,MH., mengatakan meskipun secara teori kasus-kasus asusila merupakan delik aduan, namun aparat penegak hukum melalui tim cyber crime-nya dapat bergerak melakukan penyelidikan demi kepentingan yang lebih besar, yakni cipta kondisi.
Sehingga, secara psikologis masyarakat merasa terayomi dan masa depan generasi muda juga terlindungi. Sebab, maraknya video asusila di jagat media sosial sudah sangat meresahkan, terutama dampaknya bagi anak-anak di bawah umur yang kini begitu mudah mengakses dunia maya melalui smartphone.
Dwija mengatakan bahwa aparat dapat menindak tegas pelaku, pembuat dan penyebar video asusila tersebut. Apalagi, dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE memuat dengan jelas tentang segala muatan yang melanggar kesusilaan dapat dikenakan sanksi pidana.
Hal ini dipertegas pada pasal 45 ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2016 sebagai perubahan terhadap UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. “Secara yuridis, kasus asusila yang makin marak terjadi ini filter-nya sudah jelas, selain Undang-Undang ITE, KUHP pasal 282 ayat 1, juga digariskan pada pasal 4 ayat 1 UU No.44 tahun 2008 tentang pornografi,” ungkap Dwija Suastana, Minggu (6/6).
Khusus mengenai video asusila, dikatakan ketiga produk hukum tersebut saling melengkapi dan dapat diterapkan untuk menjerat pelaku, penyebar dan pembuatnya. “Saya yakin aparat penegak hukum pun telah paham bahwa untuk mengusut kasus ini unsur-unsur subyektif, seperti adanya kesengajaan, kealpaan, niat, maksud, dengan rencana terlebih dahulu, atau adanya perasaan takut, aparat penegak hukum dapat menyelidiki lebih dalam sesuai kewenangannya,” tegasnya.
Dwija Suastana pun menyoroti bahwa penyebab semakin maraknya WNA membuat video asusila di Bali, karena fungsi kontrol pemilik akomodasi lemah. Mereka surprise ketika ada yang menyewa vila di tengah pandemi COVID-19, sehingga kontrol terhadap si penyewa lemah. “Ini dilema yang memerlukan penerapan regulasi secara tegas. Terlebih saat ini, Bali dalam posisi bersiap menyambut dibukanya pintu pariwisata Bali,” ujarnya.
Ia mengatakan sangat baik apabila Desa Adat yang wilayahnya terdapat akomodasi wisata bekerjasama dengan pihak pemilik/pengelola dan stakeholder terkait untuk mewajibkan perarem desa adat mereka diatensi pihak pelaku wisata diwilayahnya. Teknisnya, perarem tersebut dialihbahasakan ke bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya yang memuat apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan turis di wewidangan desa adatnya. “Adanya pandemi ini, mesti menjadi momentum mulat sarira bagi pariwisata Bali. Era New normal pariwisata Bali mesti mengarah kepada peningkatan kualitas dalam arti luas dan ini membutuhkan kerjasama semua pihak untuk peduli dan komitmen,” pungkasnya. (Winatha/balipost)