Pedagang menata karung-karung berisi beras yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (10/6). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako ramai ditentang. Namun, dijelaskan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor, tak semua sembako kena PPN.

“RUU KUP terkait PPN sembako tentu tidak semua. Misalnya, barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional tentu tidak dikenakan PPN. Beda ketika sembako yang sifatnya premium,” katanya dalam paparan media secara daring di Jakarta, Senin (14/6).

Di sisi lain, Neil menyatakan dirinya belum dapat menjelaskan secara lebih lanjut mengenai tarif PPN tersebut mengingat Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) masih perlu dibahas bersama DPR RI. “Terkait dengan tarif tentu saya tidak bisa mendahului sebab masih ada pembahasan yang harus sama-sama kami ikuti,” tegasnya dikutip dari kantor berita Antara.

Baca juga:  Sisa Sebulanan, Realisasi Pendapatan Pajak Badung Jauh dari Target

Ia menjelaskan pengenaan PPN ini dilatarbelakangi oleh hadirnya distorsi ekonomi seiring adanya tax incidence sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.

Kemudian, juga pemungutan pajak menjadi tidak efisien dan pemberian fasilitas memerlukan surat keterangan bebas (SKB) dan surat keterangan tidak dipungut (SKTD) sehingga menimbulkan cost administrasi.

Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain ternyata tarif PPN di Indonesia termasuk relatif rendah karena rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen.

Tak hanya itu, pemerintah juga menilai kurangnya rasa keadilan karena objek pajak yang dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda ternyata sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.

Baca juga:  Pajak Bertutur, Cara Tanamkan Kesadaran Pajak untuk Generasi Muda

Menurutnya, masyarakat berpenghasilan tinggi atau golongan atas seharusnya memberikan kontribusi pajak lebih besar daripada masyarakat menengah ke bawah. “Ini sesuai dengan kebangsaan kita agar kita bisa gotong royong lebih baik lagi, berat sama dipikul ringan sama dijinjing,” ujarnya.

Ia melanjutkan sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN yakni golongan yang memiliki ability to pay atas barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) tertentu dikenai tarif lebih tinggi.

Ability to pay berkaitan dengan kemampuan yang mengkonsumsi barang tersebut, sedangkan di Indonesia selama ini pemberian pengecualian atau fasilitas PPN dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat.

Baca juga:  Ekonomi Indonesia Harus Tumbuh 6 -7 Persen

Ia mencontohkan barang kebutuhan pokok berupa daging yakni antara daging wagyu dengan daging yang dijual di pasar tradisional selama ini sama-sama tidak dikenakan PPN. “Kita bisa melihat kadang-kadang yang mampu itu justru tidak membayar PPN karena mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenai PPN,” katanya.

Hal tersebut menandakan bahwa fasilitas yang diberikan selama ini kurang tepat sasaran, sehingga pemerintah melakukan perbaikan terhadap pengaturan yang bertujuan untuk menjunjung keadilan. “Pengaturan seperti ini yang ingin kita coba agar pemajakan ini jadi lebih efisien, lebih baik lagi. Padahal, maksud daripada pengecualian ini sesungguhnya kita berikan kepada masyarakat lapisan bawah,” tegasnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *