Tangkapan layar peta zona risiko penyebaran COVID-19 di Indonesia. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam sepekan terakhir jika dibandingkan pekan sebelumnya, terjadi tambahan kasus COVID-19 yang menunjukkan tren kenaikan di Bali. Kondisi ini terjadi sejak 14 Juni.

Dari data Satgas Penanganan COVID-19 Bali, periode 14 sampai 18 Juni 2021, penambahan kasus berada di 2 digit, namun tiap harinya mengalani kenaikan dibandingkan sehari sebelumnya.

Bahkan, pada 19 dan 20 Juni, terjadi kenaikan sebanyak 3 digit. Rinciannya, sebanyak 155 kasus di 19 Juni dan 106 kasus di 20 Juni.

Kondisi penanganan pandemi yang mengarah pada penurunan ini, membuat zona risiko Bali masih tetap bertahan di risiko sedang (orange). Seluruh kabupaten/kota di Bali per data 20 Juni 2021 yang dirilis Satgas Penanganan COVID-19 Nasional, Kamis (24/6), menunjukkan hal itu.

Kondisi ini artinya sudah enam minggu terakhir, 9 kabupaten/kota di Bali tetap setia ada di zona orange. Rinciannya, Jembrana, Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng.

Padahal, dari data Satgas Penanganan COVID-19 Nasional terjadi penurunan untuk zona merah secara nasional meski tambahan kasus menunjukkan tren kenaikan signifikan. Dari 29 kabupaten/kota (5,64 persen) di pekan sebelumnya, turun menjadi 20 kabupaten/kota (3,89 persen).

Baca juga:  Pelepasan Jenazah Kombes Hendri hingga WN Australia Pemasok Narkoba

Zona orange juga mengalami penurunan  dari 339 kabupaten/kota (65,95%) menjadi 298 kabupaten/kota (57,98%). Untuk zona kuning atau risiko rendah mengalami kenaikan dari 121 kabupaten/kota (23,54%) menjadi 170 (33,07%).

Untuk tidak ada kasus (zona hijau) meningkat dari 24 kabupaten/kota (4,67%) ke 25 kabupaten/kota (4,86%). Untuk zona tidak terdampak (zona hijau) tetap 1 kabupaten/kota (0,19%).

Lebih Peka

Terkait masih betahnya sejumlah kabupaten/kota berada di zona orange, termasuk 9 daerah di Bali yang sudah selama 1,5 bulan setia di zona itu, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Nasional, Prof. Wiku Adisasmito dalam keterangan persnya, Selasa (22/6), mengingatkannya. “Pemerintah Daerah harus lebih peka dalam membaca data tren zonasi di wilayahnya. Jika lebih dari seminggu zonasi masih tetap di zona oranye atau merah, maka upaya penanganan seperti PPKM Mikro harus dievaluasi,” jelasnya.

Lebih lanjut, upaya ini diharapkan juga dapat melatih kemampuan daerah untuk menjalankan upaya gas-rem yang baik berdasarkan sensitivitas yang tinggi terhadap kondisi kasus COVID-19. Tak hanya itu, pemerintah juga harus terus memotivasi optimalisasi PPKM Mikro dan fungsi posko.

Baca juga:  Cok Ibah Bersiap Rebut Kursi DPRD Bali

Pada prinsipnya, ketika suatu kabupaten/kota diinstruksikan oleh pemerintah provinsi untuk menjalankan PPKM Kabupaten/Kota, secara otomatis seluruh desa/kelurahan yang ada di bawahnya menjalankan PPKM Mikro. Baik PPKM Kab/Kota maupun PPKM Mikro sama-sama merupakan upaya pengendalian.

“Hal yang membedakan adalah PPKM Kab/Kota bertujuan untuk memonitor sektor-sektor besar seperti restoran, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan sektor lainnya, termasuk memonitor implementasi PPKM Mikro. Sedangkan PPKM Mikro berfungsi secara spesifik untuk mengawasi kegiatan di masyarakat yang umumnya sulit untuk dikendalikan,” papar Wiku.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga memaksimalkan pencegahan lonjakan kasus melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri PANRB. Melalui ini, pemerintah memutuskan tiga perubahan ketetapan hari libur nasional, yaitu Hari Libur Nasional Tahun Baru Islam 1443 Hijriah dan Maulid Nabi Muhammad SAW masing-masing dimundurkan 1 hari menjadi Rabu, 11 Agustus 2021 dan Rabu, 20 Oktober 2021, serta peniadaan Cuti Bersama Hari Raya Natal pada 24 Desember 2021.

Baca juga:  Hampir 80 Persen Tambahan Harian Kasus COVID-19 dari Empat Daerah Ini

Satgas mengungkapkan kenaikan kasus positif ini sudah sepatutnya menjadi alasan kuat untuk bersama mengevaluasi kebijakan pengendalian. Untuk dapat memastikan efektivitas khususnya penerapan kebijakan PPKM Mikro, semua unsur harus melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga tercipta penanganan yang komprehensif.

“Saat ini, persentase pembentukan posko di berbagai provinsi di Indonesia masih cenderung rendah dan penting untuk diingat, efektivitas pemberlakuan PPKM Mikro sangat tergantung pada pembentukan posko sebagai wadah koordinasi implementasi PPKM Mikro di tingkat Desa/Kelurahan,” ungkap Wiku.

Masih banyaknya desa/kelurahan yang belum memiliki posko tentunya berpotensi menyebabkan hambatan koordinasi penanganan COVID-19 yang baik hingga tingkat RT. Kondisi ini berdampak terhadap tidak tercapainya tujuan dari PPKM mikro itu sendiri.

“Apabila posko sudah terbentuk, langkah selanjutnya adalah memastikan seluruh tugas dan fungsi dari posko tersebut dijalankan dengan baik oleh setiap unsur-unsur yang terkait. Ingat COVID-19 berpacu dengan waktu dan jaminannya adalah nyawa sehingga apabila seluruh Pemerintah Daerah dapat melakukan langkah antisipatif sedini mungkin, hal tersebut dapat menjadi penyelamat banyak nyawa,” tutup Wiku. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *