A.A Ketut Jelantik, M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh A.A Ketut Jelantik, M.Pd

Learning loss diartikan sebagai hilangnya pengalaman belajar, atau kehilangan kemampuan belajar siswa. Sesungguhnya learning loss bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Jauh sebelum Pandemi Covid-19 Learning loss telah dikenal. Namun terminologi ini menjadi trend di masa pandemi covid-19 setelah Kemendikbud Ristek menjadikan diksi learning loss sebagai salah satu alasan yang mendasari pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas.

Berbicara tentang hilangnya pengalaman belajar siswa atau hilangnya kemampuan belajar siswa ada sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya diantaranya beban kurikulum yang terlalu berat, kompetensi guru, sistem penilaian dan sebagainya.

Namun dalam kontek pembelajaran di masa pandemi covid-19, salah satu penyebab munculnya learning loss adalah perubahan proses pembelajaran dari konvensional ke pembelajaran virtual. Perubahan ini mengharuskan seluruh elemen pendidikan mulai dari kepala sekolah, guru, siswa hingga orang tua untuk “banting stir” melakukan adaptasi menuju pembelajaran digital atau e-learning.

Proses adaptasi tersebut tidak berjalan mulus. Ketersediaan infrastruktur seperti jaringan internet, kepemilikan gawai, laptop, listrik dan sejenisnya khususnya di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T) masih sangat tidak memadai. Kondisi ini diperparah lagi dengan kompetensi digital guru yang belum maksimal. Dalam kondisi seperti itu tidak mengherankan jika kita semua menjadi gelagapan.

Baca juga:  Belajar dari Punakawan

Siswa butuh waktu untuk akrab dengan pembelajaran virtual, orang tua bukan saja harus meluangkan waktu untuk mendampingi putra putrinya, namun juga merangkap menjadi pembimbing pembelajaran dari rumah. Guru dipaksa untuk mengubah mindset tentang pembelajaran dari yang sebelumnya bersifat konvensional ke pembelajaran padat tehnologi digital.

Akumulasi dari proses adaptasi tersebut berdampak pada tidak efektifnya proses pembelajaran. Learning loss menjadi tak terhindarkan. Siswa kehilangan momentum untuk belajar secara maksimal dan optimal.

Dampak learning loss terhadap kualitas pendidikan bisa fatal. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti RISE (Research on Improving System of Education) dari Universitas Oxford Inggris Michelle Kaffenberger yang menganalisis dampak gempa bumi Pakistan tahun 2005 terhadap anak-anak yang berusia 4-5 tahun menunjukan hasil yang mengejutkan.

Diungkapkan terdapat perbedaan kemampuan pemahaman antara siswa yang sekolahnya ditutup akibat gempa dengan siswa yang sekolahnya tetap buka. Learning loss pada siswa kelas 3 SD yang sekolahnya ditutup selama 6 bulan kemampuannya berpotensi tertinggal selama 1,5 tahun. Sedangkan anak kelas 1 SD jika sekolah ditutup selama 6 bulan kemampuannya berpotensi tertinggal selama 2,2 tahun.

Baca juga:  Tumpek Wariga-Wana Kerthi, Gerakan Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Hasil penelitian yang dilakukan Michelle Kaffenberger tersebut memiliki benang merah dengan simulasi yang dilakukan Programme For International Students Assessment (PISA) dalam tajuknya yang berjudul Simulating the Potential Impacts of Covid-19 School Closures on Schooling and Learning Outcomes: A Set of Global Estimates  yang dilaksanakan Juni 2020 lalu. Disebutkan tiga skenario dampak COVID-19 pada pelajar di 57 negara.

Skenario menengah disebutkan akibat penutupan sekolah rata-rata peserta didik akan kehilangan 16 poin PISA atau jika dikoversi dengan tahun pembelajaran setara dengan setengah tahun pelajaran di satu negara. Skenario optimis menyebutkan akibat penutupan sekolah rata-rata peserta didik akan kehilangan 7 poin di PISA, sedangkan skenario pesimis menyebukan akan kehilangan 27 poin di PISA.

Hasil penelitian dari Oxford University serta simulasi dari PISA tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa betapa masivnya dampak Pandemi covid-19 terhadap kualitas sumber daya manusia dalam beberapa tahun ke depan. Pandemi Covid-19 belum mereda. Artinya, kita memang belum bisa berharap banyak bahwa pembelajaran tatap muka bisa terlaksana dalam waktu dekat. Jadi opsi yang mengatakan pembelajaran tatap muka merupakan langkah untuk menghadang learning loss dapat dikesampingkan.

Baca juga:  Banjir Bandang, Ini DAS Rawan di Buleleng

Langkah mitigasi yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana semua pihak bahu membahu terus mendorong upaya-upaya memaksimalkan pembelajaran moda daring, sehingga ancaman learning loss bisa ditekan dan bila perlu justru pembelajaran moda daring dalam masa pandemi Covid-19 ini dijadikan momentum meningkatkan kemampuan dan hasil belajar siswa atau learning gain.

Pemerintah perlu memaksimalkan ketersediaan saran prasarana pendukung pembelajaran daring. Perbaikan jaringan internet agar stabil dan berkecepatan tinggi, penyediaan gawai bagi siswa miskin, laptop, listrik di daerah-daerah yang selama ini tertinggal perlu dijadikan prioritas.

Sekolah harus melakukan mitigasi keterlaksanaan pembelajaran daring melalui pemetaan kebutuhan dan ketersediaan pembelajaran daring. Pemetaan harus dilakukan dengan jujur, sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. Relaksasi penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus benar-benar memaksimalkan ketersediaan sarana pendukung pembelajaran daring.

Guru harus terus meningkatkan kompetensi pembelajaran berbasis digital, sehingga mampu melaksanakan pembelajaran secara efektif, menarik, menantang dan sekaligus memberikan ruang bagi peningkatan kemampuan berpikir kritis bagi siswanya. Optimalisasi metode pembelajaran berbasis projek harus terus dikembangkan oleh guru.

Penulis pengawas Sekolah di Dikpora Kabupaten Bangli, penulis buku Manajemen Sekolah

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *