Putu Eka Wirawan. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Eka Wirawan

Bali dikenal oleh dunia sejak zaman penjajahan, karena keindahan alam dan budanynya. Masifnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, menjadikan budaya lokal sebagai bentuk pariwisata Bali. Berbagai even budaya pun banyak dilakukan di Bali, baik oleh masyarakat lokal untuk dunia, maupun masyarakat dunia untuk internasional. Pandemi akibat virus covid-19 telah merubah segalanya.

Masyarakat Bali yang menggantungkan hidupnya pada pariwisata, pun “mati” dibuatnya. Sektor lain yang ada hubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan wisata pun dibuat tak berdaya. Warga negara asing yang semula merencanakan kegiatan di dan ke Bali pun dibatalkan.

Berbagai upaya bertahan hidup pun dilakukan oleh pebisnis pariwisata. Pengetatan anggaran perusahaan, pengurangan dan merumahkan hingga pemecatan pegawai pun tak terelakkan. Bahkan penjualan asset pun banyak dilakukan sebagai pilihan yang tak terhindarkan. Ending-nya, angka pengangguran di Bali pun tumbuh tak terhitung.

Berbagai upaya pun sejatinya sudah dilakukan untuk penyelamatan entitas pariwisata Bali. Baik oleh akademisi pariwisata maupun pemerintah pusat dan daerah. Berbagai seminar tentang upaya pariwisata hidup kembali di tengah pandemi pun sudah puluhan kali dilakukan. Namun belum satu pun yang terbukti ampuh, karena semua bergantung pada kebijakan pemerintah yang punya hak penuh atas Bali.

Baca juga:  Banjar sebagai ’’Coworking Space’’

Pemerintah sejatinya telah menggulirkan konsep wisata travel bubble, dalam menjaga asa pendapatan masing-masing negara peserta. Paket wisata yang hanya melibatkan jalur khusus antara Bali dengan Tiongkok, Uni Emirat Arab, Belanda, dan Singapura menjadi cermin, bahwa Bali sangat dipikirkan pemerintah.

Namun, hal itu urung dilakukan karena berbagai alasan. Gagalnya pariwisata travel bubble adalah kerugian pariwisata Bali. Fenomena memulangkan warga asing dari Indonesia adalah kerugian tersendiri. Ditambah lagi larangan penerbangan dari beberapa negara dengan tujuan ke dan dari Indonesia, menjadikan ancaman bagi wisata Bali dan Indonesia.

Kondisi pariwisata Bali diperparah dengan kebijakan PPKM Darurat yang dimulai 3 Juli-20 Juli. Akibatnya, penyekatan pun dilakukan di beberapa perbatasan, yang dianggap banyak orang melakukan aktivitas perjalanan. Banyak rumah makan dan toko pun melakukan penyesuaian aturan tersebut.

Baca juga:  Dirjen Navigasi Penerbangan Pantau Festival Balon Udara Wonosobo

Berakhirnya aturan di atas sejatinya ditunggu oleh ratusan hingga ribuan pengusaha mikro yang bergerak di sektor makanan dan pariwisata Bali. Justru, sejak 26 Juli pemerintah memberlakukan aturan baru bernama PPKM Level 4 yang berakhir 2 Agustus. Selama pemberlakukan kebijakan tersebut, memunculkan gejolak sosial di mana-mana, misalnya pengibaran benderah putih di Jawa.

Pariwisata dan masyarakat Bali juga merasakan hal yang sama, namun cara dan sikap yang dimunculkan beda. Mareka cenderung diam sambil menunggu kebijakan tersebut akan berakhir.

Asa tersebut seolah sejalan dengan statemen presiden, yang telah bercerita keluh kesah rakyat selama pembatasan dilakukan, karena persoalan kebutuhan pokok di tengah carut marutnya penyaluran bantuan sosial. Tercengang, itulah perasaan normal yang dirasakan masyarakat Bali pada umumnya.

Ya, sejak 3 hingga 19 Agustus pemerintah telah memperpanjang PPKM Level 4. Sabar dan tabah, itulah ungkapan yang kemudian muncul di benak masyarakat dan pariwisata Bali. Kesehatan dan nyawa masyarakat Indonesia adalah alasan pokoknya.

Baca juga:  BUMDes Pilar Ekonomi Desa

Bagaimana dengan isu sertifikasi vaksinasi bagi pelaku perjalanan, dan apa dampaknya bagi pariwisata Bali? Kebijakan tersebut pasti ditentang rakyat Bali, karena makin mencekik kehidupan rakyat karena matinya wisata Bali. Kenapa demikian?

Setidaknya ada dua alasan mendasar yang melatarinya. Pertama, jumlah vaksin dan orang yang sudah divaksinasi belum banyak. Kedua, tidak semua orang dapat divaksinasi, karena alasan kesehatan, sementara tidak ada larangan berwisata baginya.

Jika kebijakan boleh tidaknya orang melakukan perjalanan yang didasarkan sertifikat vaksinasi, maka pariwisata Bali paling terdampak. Setelah beberapa negara melakukan pembatasan perjalanan ke luar negeri, wisata Bali pun hanya mengandalkan pengunjung domestik. Maka, sudah seharusnya isu terkait hal di atas harus dipertimbangkan atau bahkan tidak dilakukan, demi pariwisata Bali dan Indonesia hidup kembali.

Penulis Dosen Institut Pariwisata dan Bisnis Indonesia

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *