Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Krisis ekonomi yang berpacu dengan krisis kesehatan selama hampir satu setengah tahun di Tanah Air, mengubah gaya permainan dalam leisure business. Industri pariwisata, sektor transportasi, perhotelan dan berbagai lini pendukung, mengalami tekanan yang belum pernah dialami sebelumnya.

Aneka inovasi telah diupayakan, namun persebaran virus corona semakin membahayakan dan mengancam keselamatan umat manusia. Aktivitas belanja, berwisata dan kebutuhan leisure lainnya, terpaksa berpindah ke rumah.

Pada masa sebelum pandemi, dukungan kepala negara dan kepala daerah untuk melakukan perjalanan wisata di dalam negeri dan gerakan berbelanja produk di dalam negeri gencar dilakukan. Tak sedikit kegiatan Presiden berkunjung dan berbelanja ke mal di berbagai daerah, memberi pesan kepada warga bangsa untuk mengonsumsi produk dalam negeri.

Ada semacam standar yang tidak tertulis, bahwa aktivitas jasa, perdagangan dan setiap hal yang terkait interaksi dengan orang lain, dilakukan untuk saling menciptakan dan meningkatkan nilai lebih di kehidupan.

Keunggulan pelaku usaha memberikan layanan dan memenangkan hati pelanggan, kini berubah media dan tempat, dari properti dengan physical evidence yang mantab menuju rumah-rumah konsumen. Susan Horner & John Swarbrooke (2005) mengidentifikasi lima pendekatan konsep leisure, pertama, leisure as an activity, kedua, leisure as a time, ketiga, leisure as a state of being, keempat, leisure as a way of life, dan kelima, leisure as an all pervading holistic concept.

Tentu saja, perlu kreativitas dan modifikasi dalam memberikan lima karakter dasar jasa pada konsumen dengan basis rumah masing-masing, yang selama ini belum pernah terpikirkan oleh sebagian besar pelaku sektor jasa. Kelima karakteristik jasa yang perlu terus menerus dicoba dan diperbaiki dari waktu ke waktu dalam penyampaian layanan jasa berbasis rumah adalah, intangibility, inseparability, heterogeneity, perishability dan lack of ownership. Sekali lagi, hal ini tidaklah mudah, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan.

Baca juga:  Di Depan Pagar Ekonomi Pandemi

Fenomena pemberian paket layanan isoman pada industri medis dengan mendatangi rumah-rumah warga, merupakan bukti adaptasi dan kreativitas yang baik dalam mengatasi situasi sulit saat ini. Bagi kalangan home lover, situasi pandemi saat ini merupakan momen yang melekat dengan karakteristiknya, namun bagi kalangan lainnya, kebutuhan leisure yang dapat dipenuhi dari rumah merupakan peluang bagi pelaku usaha.

Hermawan Kartajaya dalam bukunya yang berjudul Connect: Surfing New Wave Marketing (Gramedia Pustaka Utama, 2010) menyatakan, jika sebelumnya kehadiran teknologi mendorong produktivitas (technology driving productivity), maka pada era new wave ini teknologi yang ada mendorong lahirnya kreativitas (technology driving creativity).

Baca juga:  Kopi, Potensi PAD di Luar Pariwisata

Perbedaannya dengan era informasi, teknologi pada era new wave mendorong tumbuhnya partisipasi. Semakin banyak orang yang bisa ter-connect satu sama lain untuk berpartisipasi, untuk belajar, dan untuk menciptakan sesuatu.

Karena itulah, elemen-elemen marketing yang selama ini kita kenal dalam legacy marketing juga harus mengalami penyesuaian. Dalam Legacy Marketing dikenal sembilan elemen marketing yang terdiri dari Segmentation, Targeting, Positioning, Differentiation, Marketing-Mix (Product, Price, Place, Promotion), Selling, Brand, Service, dan Process. Dalam New Wave Marketing, elemen-elemen tersebut menjadi apa yang disebut sebagai “The 12 Cs of New Wave Marketing”. Kedua belas C itu adalah Communitization, Confirming, Clarifying, Coding, Crowd-Combo (Co-Creation, Currency, Communal Activation, Conversation), Commercialization, Character, Caring, dan Collaboration.

Connect sendiri dibagi menjadi tiga tingkatan dan model. Pertama, mobile connect. Pertanyaannya adalah “are you well-connected?” baik online maupun offline. Tingkat kedua adalah experiential connect. Pertanyaannya adalah “how deep is your connection?” Dan, tingkat paling tinggi dalam connect adalah Social Connect. Di level ini, pertanyaannya adalah “how strong is the connectivity?” Secara berturut-turut, tingkatan connect tersebut adalah sebagai berikut, well-connected is the mobile connect, deep-connection is the experiential connect, dan strong-connectivity is the social connect.

Kiranya dengan memperkuat social connect, pelaku usaha sektor pariwisata dan perhotelan dapat terbantu dalam memberikan layanan bisnis leisure yang mendatangi rumah-rumah warga, yang tidak hanya menyentuh segmen home lover namun sebagian besar warga bangsa di masa pandemi ini. Saatnya memandang bisnis leisure yang berpindah ke rumah.

Baca juga:  Menjawab Tantangan ‘’Kampus Merdeka’’

Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *