JAKARTA, BALIPOST.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Bank Indonesia melanjutkan burden sharing atau bagi beban melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III. Burden sharing ini dalam rangka menangani pandemi COVID-19 yang berlaku sejak ditetapkan sampai 31 Desember 2022.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (24/8), mengatakan pihaknya bersama BI sudah melakukan SKB I dan II. Ia menjelaskan SKB III ini dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan penyebaran COVID-19 varian Delta yang memerlukan pembiayaan besar, termasuk untuk penanganan kesehatan dan kemanusiaan.
Dasar hukum dalam SKB III meliputi UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Secara umum pelaksanaan sinergi kebijakan dalam skema SKB III ini tetap menjaga prinsip penting dari sisi fiskal yaitu menjaga fiscal space dan fiscal sustainability jangka menengah serta menjaga kualitas belanja yang produktif.
Selain itu, juga untuk mendukung konsolidasi fiskal dengan kebijakan penurunan defisit secara bertahap menjadi di bawah tiga persen mulai 2023. Kemudian dari sisi moneter yaitu menjaga stabilitas nilai tukar, tingkat suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali.
Selanjutnya adalah dari sisi makro yakni memperhatikan kredibilitas dan integritas pengelolaan ekonomi, fiskal, dan moneter sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang sustainable.
Dalam SKB III ini, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 439 triliun yang terdiri dari Rp 215 triliun pada 2021 dan Rp 224 triliun pada 2022.
Skema penerbitan SBN ini dibagi menjadi dua cluster yaitu pertama adalah BI berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan maksimum limit Rp 58 triliun pada 2021 dan Rp 40 triliun pada 2022 sesuai kemampuan neraca BI.
Adapun bunga penerbitan SBN ini mengacu pada tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan yang di bawah suku bunga pasar.
Cluster kedua yaitu pemerintah menanggung suku bunga dari penerbitan SBN sebesar Rp 157 triliun pada 2021 dan Rp 184 triliun pada 2022 dengan tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan.
Penerbitan SBN yang suku bunganya ditanggung pemerintah ini akan digunakan penanganan kesehatan lainnya serta penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan berbagai program perlindungan bagi masyarakat kecil terdampak.
“Tingkat suku bunga acuan reverse repo BI tenor tiga bulan ini di bawah tingkat suku bunga pasar, jadi meskipun pemerintah menanggung suku bunga namun di bawah pasar sehingga sangat meringankan,” kata Sri Mulyani.
Melalui skema tersebut maka pada 2021 ini total pembelian SBN oleh BI sebesar Rp 215 triliun yang meliputi Rp 58 triliun untuk penanganan kesehatan dengan bunga ditanggung BI dan Rp 157 triliun untuk kemanusiaan dengan bunga ditanggung pemerintah.
Sementara total SBN yang dibeli oleh BI pada 2022 sebesar Rp 224 triliun meliputi Rp 40 triliun untuk penanganan kesehatan dengan bunga ditanggung BI dan Rp 184 triliun untuk kemanusiaan dengan bunga ditanggung pemerintah.
Penerbitan SBN ini bersifat tradable dan marketable yang akan dilaksanakan melalui private placement dengan tenor jangka panjang yaitu lima tahun sampai delapan tahun. “SBN yang diterbitkan bersifat tradable dan marketable serta dapat digunakan untuk operasi moneter BI,” kata Sri Mulyani. (kmb/balipost)