DENPASAR, BALIPOST.com – Sebuah film tentang Charles Chaplin di Bali akan ditayangkan sebagai pembuka Bali International Film Festival (BIFF). Dalam rilis yang diterima balipost.com, Kamis (14/9), disebutkan film dokumenter ini menceritakan tentang perjalanan Chaplin pada 1932 ke Bali.
Ketika itu, Chaplin yang merupakan aktor film internasional mengalami kebuntuan dalam sisi kreatifitasnya. Era tersebut menandai munculnya film dengan suara yang dikhawatirkan akan menghentikan karir filmnya.
Setelah melakukan promosi ke Eropa untuk film terakhirnya “City Lights,” Chaplin tidak kembali ke Hollywood. Ia memutuskan untuk menuju ke timur mengunjung saudaranya di Sydney, Australia.
Berkeinginan untuk mencari tempat yang sepi dan damai, dimana ia bisa pergi tanpa dikenali, ia mengunjungi Bali. Dalam perjalanan singkatnya itu, ia memperoleh implikasi yang luar biasa untuk karir dan kehidupannya.
Periode singkat dan penting ini lah yang menjadi fokus dari film dokumenter “Chaplin in Bali.” Film ini akan ditayangkan perdana pada BIFF ke-11 yang digelar pada 24 September di Cinemaxx Theatre, Lippo Mall Kuta.
Film dokumenter ini disutradarai pembuat film asal Prancis, Raphael Millet dan diproduksi Nocturnes Productions (Prancis), Man’s Film Productions (Belgia) dan Phish Communications (Singapura) serta didukung oleh Chaplin Association.
Raphaël Millet dengan keahliannya menyatukan cuplikan-cuplikan hitam putih yang diambil Chaplin saat ia mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Interaksinya dengan orang Bali, kesenian dan budaya yang memberikan inspirasi bagi Chaplin, dan pengalaman pertama Chaplin berhadapan dengan kolonialisme dan kebijakan brutal mereka. Pengalaman itu kemudian menyumbangkan kebangkitan politik dalam diri Chaplin.
Yang utama, Bali membantu Chaplin mengatasi ketakutan akan suara, membuatnya menapaki fase baru dari pembuatan film. Ia kemudian membuat “Modern Times,” film pertamanya yang menunjukkan kemampuannya menyanyi.
Tari Bali juga menjadi kisah penting dalam film ini karena Chaplin sangat terpesona dan membuatnya mengingat keahliannya dalam berpantomim. Dalam sebuah cuplikan, terlihat Chaplin menonton sebuah latihan menari yang memperlihatkan seorang guru mengajari anak-anak menari Legong.
Di akhir cuplikan, kita bisa melihat Chaplin berupaya untuk mengikuti tarian penari yang membuat yang hadir tertawa.
Sebagai penghormatan terhadap tari ini, film ini mempertunjukkan sebuah tarian tunggal yang merupakan tarian yang sama disaksikan Chaplin, yakni Legong Kupu-kupu. Pada tahun 1920an hingga 30an, legong ini sangat populer namun tidak ditampilkan lagi di masa sekarang.
Tarian ini dikoreografi ulang oleh penari yang juga koreografer handal, Bulantrisna Djelantik dan ditarikan oleh Ni Wayan Phia Widari Eka Tana. Musik gamelan dalam film ini merupakan musik orisinil dari Legong Kupu-kupu yang ditampilkan Sekaa Gong Dewi Sri, yang dipimpin Nyoman Sumerta. (Diah Dewi/balipost)