Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Pemerintah kita tengah ancang-ancang untuk memungut pajak karbon alias carbon tax. Rencana tersebut telah tertuang dalam draft perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang bakal dibahas secepatnya tahun ini, karena sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh DPR.

Jika kemudian diterapkan, pajak karbon akan dipungut dari orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon. Nantinya, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mengatur lebih lanjut soal subjek pajak karbon, tata cara perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan, dan mekanisme pengenaannya.

Organisasi Kerjasama Pembangunan Ekonomi (OECD) dan Dana Moneter Internasional (IMF) merekomendasikan penerapan pajak karbon ini sebagai bagian dari solusi mitigasi perubahan iklim dan juga sebagai sumber penerimaan baru negara pascapandemi Covid-19. Seperti kita ketahui, selama setengah abad terakhir, suhu rata-rata bumi kita cenderung meningkat lebih cepat daripada yang diperkirakan.

Salah satu penyebabnya adalah semakin menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer. Seperti kita ketahui, tatkala sinar matahari mencapai bumi, sebagian energinya diserap di permukaan bumi dan dipancarkan kembali sebagai energi inframerah yang kita sebut panas. Nah, energi panas ini kembali ke atmosfer di mana gas rumah kaca, salah satunya adalah karbon dioksida (CO2), memerangkap energi ini dan mengirimkannya kembali ke semua penjuru bumi.

Proses tersebut lazim disebut efek rumah kaca, yang membuat bumi kian sulit menjadi lebih dingin. Beragam aktivitas manusia yang melibatkan pembakaran bahan bakar fosil untuk berbagai keperluan menjadi salah satu biang kerok menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer.

Baca juga:  Literasi Kinerja BUMN

Semakin banyak kita menggunakan bahan bakar fosil, semakin banyak pula karbon dioksida yang dilepaskan, yang berarti semakin bertambah tumpukan gas rumah kaca di atmosfer. Buntut akhirnya, temperatur bumi kian meningkat.

Terjadinya peningkatan suhu bumi kemudian mengubah iklim global. Dari sinilah muncul istilah perubahan iklim alias climate change, yang ditandai antara lain dengan munculnya gelombang panas di lautan, kekeringan ekstrem, curah hujan yang lebih tinggi, naiknya permukaan laut serta munculnya badai dahsyat.

Dengan hampir 60 persen penduduk bumi tinggal di kawasan perkotaan saat ini- dan diprediksi akan menjadi 68 persen pada 2050- kota menjadi salah satu generator besar emisi karbon. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kawasan perkotaan mengonsumsi lebih dari dua pertiga energi dunia dan sekaligus menyumbang lebih dari 70 persen emisi karbon dioksida.

Sebagian besar emisi karbon di kawasan perkotaan dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil untuk aneka macam keperluan sehari-hari, seperti untuk pemanasan dan pendinginan ruangan, penerangan, pengoperasian berbagai mesin dan peralatan untuk kepentingan industri, termasuk juga untuk keperluan transportasi.

Di sisi lain, penduduk perkotaan sendiri sekarang ini justru semakin rentan terhadap sejumlah risiko akibat perubahan iklim – mulai dari kelangkaan air,  banjir hingga terjangan badai. Tentu saja, anak-anak, kaum perempuan, kaum lansia serta kelompok-kelompok marjinal adalah mereka yang paling berisiko terkena dampak perubahan iklim. Pada titik inilah, upaya untuk mewujudkan kota-kota netral karbon menjadi penting dilakukan dan disegerakan.

Baca juga:  PJJ, Guru Perlu Asesmen Nonkognitif

Skema Pajak Karbon

Agar Bumi tidak semakin panas, upaya untuk mengerem laju penumpukan karbon di atmosfer perlu dilakukan. Salah satunya lewat skema pajak. Sejauh ini, sudah ada sekurangnya 40 negara yang telah menerapkan skema pajak karbon.

Penerapan pajak karbon sejatinya sejalan dengan komitmen negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyepakati Perjanjian Paris (Paris Agreement), pada tahun 2015, untuk bersama-sama mewujudkan apa yang diistilahkan sebagai ekonomi netral karbon.

Jika ditelisik lebih jauh, pajak karbon adalah pajak energi lantaran sebagian besar emisi karbon berasal penggunaan energi yang berbasis pada bahan bakar fosil. Ada yang memprediksi pendapatan pajak yang akan dihasilkan dari penerapan pajak karbon di negeri ini sekitar Rp 26 triliun hingga Rp 53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan asumsi tarif pajak US$ 75/tCO2.

Namun, di balik raihan pendapatan tersebut bukan tanpa risiko. Para pekerja di sektor padat karbon berada pada risiko untuk kehilangan pekerjaan mereka. Sektor-sektor yang terkait erat dengan energi berbasis bahan bakar fosil juga akan terkena imbasnya. Termasuk sektor transportasi, besi dan baja, serta industri listrik yang bersumber pada pembangkit listrik tenaga batu bara (Kalaba, 2019).

Baca juga:  Deksametason untuk Terapi COVID-19

Dari sisi harga, penerapan pajak karbon akan mendorong melonjaknya harga energi. Dana Moneter Internasional (IMF), seperti dikutip cnbcindonesia.com memproyeksikan jika pajak karbon diterapkan di Indonesia secara menyeluruh, harga energi rata-rata bakal meningkat cukup besar. Harga domestik batubara, gas alam, listrik, dan bensin akan meningkat masing-masing sebesar 239%, 36%, 63%, dan 32%.

Oleh sebab itu, jika pajak karbon ini hendak diberlakukan, pemerintah sangat perlu menyiapkan dengan seksama langkah strategis untuk meminimalisir dampak samping berupa kenaikan harga barang dan jasa serta kemungkinan hilangnya perkerjaan sebagian warga yang selama ini bekerja di sektor padat karbon.

Uang yang diperoleh dari pajak karbon selain dialokasikan untuk membangun sumber-sumber pembangkit energi bersih terbarukan dan membangun jaringan transportasi massal ramah lingkungan, juga sebaiknya dialokasikan untuk membuka lapangan kerja yang pro-lingkungan (green job), serta untuk subsidi bagi masyarakat kurang mampu, yang mungkin sangat terdampak oleh kenaikan harga sejumlah barang dan jasa buntut dari penerapan pajak karbon ini.

Pada akhirnya, cepat atau lambat, ekonomi netral karbon memang wajib kita wujudkan. Mengurangi emisi karbon dengan jalan menerapkan pajak karbon mungkin pula perlu segera kita lakukan. Manfaat penerapan pajak karbon barangkali tidak akan langsung terlihat. Perlu dua atau tiga dekade bagi kita untuk bisa merasakan manfaatnya.

Penulis adalah kolumnis, alumnus Universitas Padjadjaran

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *