Oleh Dewa Gde Satrya
United Nation Word Tourism Organization menetapkan tema World Tourism Day 2021: Tourism for Inclusive Growth. Dalam konteks ini, kepariwisataan di masa pandemi Covid-19 diharapkan mampu menghadirkan pertumbuhan ekonomi dan kebahagiaan hidup di seluruh kalangan masyarakat.
Terkait hal itu, signal pembukaan pariwisata Bali untuk wisatawan internasional disampaikan Menkomarves, Luhut Panjaitan, dalam kunjungannya ke Bali pada Jumat (10/9) yang lalu. Meski demikian, status PPKM level 2 area Bali mengharuskan menyaring wisatawan asing yang datang ke Bali. Bahkan dengan tegas ada pelarangan untuk backpacker.
Kebijakan ini telah diprediksi sebelumnya, pembukaan pariwisata Bali untuk turis asing harus berhati-hati. Di sinilah pentingnya peran wisatawan domestik untuk menguji coba kesiapan industri pariwisata menerima kembali kunjungan wisatawan, sekaligus menghadirkan kembali lapangan kerja yang tergerus di masa pandemi. Memulihkan kepercayaan pasar wisatawan (dalam dan luar negeri) merupakan pekerjaan bersama yang harus diperjuangkan di era the new normal. Turis asing lebih sulit didatangkan di tengah isu pandemi, mereka tipikal warga negara yang mudah diarahkan oleh pemerintahnya, tekun menggali kebutuhan informasi sedetil-detilnya dan tentu saja memiliki pengharapan yang tinggi akan suatu hal.
Di ranah inilah peran wisatawan domestik (warga negara Indonesia) menjadi sentral. Selain sebagai penggerak roda perekonomian secara umum, pergerakan wisatawan domestik pascapandemi jelas dibutuhkan. Merekalah yang akan menyiarkan kabar keamanan dan impelementasi the new normal di Indonesia pada warga dunia. Belajar dari pengalaman krisis finansial global yang pernah diembuskan melalui resesi Amerika Serikat, menempatkan warga bangsa sebagai penyelamat melalui perjalanan wisata di dalam negeri. Beberapa program pemerintah saat krisis global yang waktu itu diterapkan adalah BLT, BOS, Raskin, Jamkesmas, PNPM Mandiri, KUR, dan penurunan harga BBM.
Pelajaran yang dipetik dari krisis global menyebabkan paket tur ke luar negeri melonjak tinggi setelah dolar bergerak di atas Rp 10.000 dan bertahan hingga sekarang. Di Jawa Timur misalnya, berdasarkan catatan ASITA setempat, terjadi pembatalan tur keluar negeri khususnya tujuan liburan ke Australia, Amerika, China dan Eropa sebesar 50%. Padahal jauh sebelumnya beberapa Biro Perjalanan Wisata terlanjur melakukan blocking ribuan tiket penerbangan internasional ke beberapa tujuan wisata luar negeri dan membayar minimal deposit minimal 10% dari total harga tiket.
Pro-Job dan Pro-Poor Tourism Selain standar kesehatan dan kebersihan lingkungan yang kian meningkat, tuntutan akan wisata yang berkualitas diprediksi juga akan menjadi hal baru dalam the new normal di aspek turisme. Quality tourism bila diletakkan pada pemahaman konsumen, berarti jenis wisatawan yang memiliki daya beli tinggi. Namun bila ditujukan pada aktivitas wisata, bermakna kegiatan wisata yang meningkatkan kepedulian pada lingkungan, interaksi dengan masyarakat lokal, dan terutama aktivitas wisata yang memberi manfaat pada kemanusiaan.
Teringat statement presiden keenam Indonesia, SBY, pada masa krisis global yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu. “Mau berlibur, silakan berlibur bersama keluarga. Sambil berlibur, makan di warung atau restoran, itu produksi petani dan nelayan kita. Jangan lupa beli cendera mata, itu produk kerajinan yang mempekerjakan banyak orang. Bawa keluarga menonton film Indonesia, itu ekonomi kreatif yang sedang berkembang,” demikian sedikit seruan SBY dalam website-nya.
Konsep-konsep pengembangan kepariwisataan yang diprediksi akan menjadi standar baru (the new normal) sebenarnya sudah dilakukan oleh United Nation World Tourism Organization sejak lama. Mulai dari community-based tourism, green tourism, bahkan yang terakhir ini dikenal dengan sebutan pro-poor tourism. Akan tetapi apabila dicermati, muara dari seluruh konsep tersebut adalah sama yaitu produk. Bagaimana menciptakan sebuah produk yang sesuai dengan tuntutan pasar (wisatawan). Isu budaya lokal, lingkungan hidup, dan peran pariwisata untuk mengurangi tingkat kemiskinan merupakan dominasi pembicaraan yang sangat intens di kalangan wisatawan saat ini, lebih-lebih ketika umat manusia di seluruh dunia mengalami penderitaan yang sama karena wabah Covid-19.
Hasil survei yang dianalisir oleh PATA (Pacific Asia Travel Association) pada tahun 2007 dapat menunjukan ke arah tersebut. Disebutkan bahwa wisatawan rela membayar lebih mahal 10-50% untuk liburan terkait pelestarian budaya dan lingkungan (PATA, 29 Mei 2007). Indonesia sebagai salah satu tujuan destinasi dunia dengan Bali sebagai leading market bagi turis asing, sebenarnya sudah menjalankan green tourism dan pro-poor tourism. Sebut saja apa yang sudah dilakukan oleh Conservation International Indonesia Program (CIIP) dengan beberapa mitra kerjanya (Indriani Setiawati 2008).
Program yang dikembangkan oleh CIIP adalah mendukung pelestarian alam dan perlindungan lingkungan; pelaksanaan kegiatan di sekitar kawasan (destinasi) dilakukan dengan rasa tanggung jawab yang tinggi dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen hijau/ramah lingkungan; menciptakan kemitraan lokal; pariwisata yang berdampak negatif rendah; keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal; menggunakan panduan yang umum dan dapat dipertanggung jawabkan; perancanaan pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata yang eksotik; pengalaman yang tidak terlupakan di daerah tujuan wisata yang eksotik; pendidikan lingkungan, kepedulian dan tanggapan terhadap sumber daya; dan pelibatan masyarakat lokal. Dengan demikian, peran wisatawan domestik dalam the new normal tidak sekadar menyerukan berwisata di dalam negeri, tetapi sekaligus mengarahkan warga bangsa untuk peduli pada kemanusiaan saudara sebangsa. Selamat hari pariwisata sedunia.
Penulis Dosen Pariwisata, Universitas Ciputra; Mahasiswa S-3 Pariwisata, Universitas Udayana