Kajari
Forkopinda saat menggelar pertemuan dengan para bendesa adat se-Karangasem, Selasa (19/9) siang. (BP/gik)
AMLAPURA, BALIPOST.com – Pimpinan lembaga daerah yang tergabung dalam Forkopinda Karangasem mengumpulkan seluruh bendesa adat se-Karangasem di Gedung UKM Center, Amlapura, Selasa (19/9) siang. Dalam kesempatan itu, Kajari Amlapura I Nyoman Sucitrawan, menegaskan pungutan yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, sama dengan pungutan liar. Contohnya, pungutan yang dilakukan desa adat.

Menurutnya, dasar perarem yang digunakan sebagai dasar pungutan belum kuat untuk melakukan pungutan untuk orang luar. Perarem hanya mengatur warga di sekitar desanya. Misalnya, terkait persoalan narkoba, bisa diatur dalam perarem, khususnya penambahan sanksi dari desa adat, selain sanksi hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Sanksi tambahan dalam perarem itu bisa berupa tambahan denda atau sanksi sosial.

Tetapi, yang banyak terjadi saat ini banyak desa adat buat perarem untuk berbagai pungutan. Misalnya dalam mengelola objek wisata, kalau melakukan pungutan yang nominalnya ditetapkan, itu sama saja dengan pungli. Kalau mau mengelola objek wisata, sebaiknya kerjasamakan dengan pemerintah daerah agar bisa diatur dalam perda, sehingga pungutannya legal. “Kalau sudah diatur perda, nanti istilahnya dikloning, nantinya hasil pengelolaan ditampung dulu oleh pemerintah daerah, kemudian baru disalurkan ke desa adat, bisa melalui lembaga keuangan seperti LPD dan lembaga keuangan yang sah di desa adat. Ini kemudian baru disebut dengan retribusi,” katanya.

Baca juga:  Badan Adhoc Diminta Netral, KPU Bali Ancam Sanksi Pecat Jika Melanggar

Kalau tidak bekerja sama pemerintah daerah, pungutannya harus dalam bentuk donasi. Jadi, tidak boleh menentukan nominal. Sehingga, setiap wisatawan yang datang ke wilayah yang punya tempat menarik, lakukan donasi, bukan pungutan. Donasi artinya, terserah wisatawan mau memberikan nominal uang berapa.

Pihaknya berharap bendesa adat se-Karangasem ini bisa memahami ini. Sebab, segala pungutan yang dilakukan di desa adat harus diatur dalam perda. Bila tidak, apabila wisatawan merasa keberatan dikenakan tarif tertentu, kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian, maka itu bisa ditangani, karena tergolong pungli

Baca juga:  PNS Mengeluh, Tambahan Penghasilan Belum Dibayarkan

Dia melihat pungutan dengan dasar perarem ini, sudah mulai menimbulkan banyak masalah. Sebagai contoh, kasus pengelolaan objek wisata Pantai Bias Putih yang menjadi rebutan, antara Desa Bugbug dengan Perasi. “Kenapa tidak dikerjasamakan dengan pemerintah daerah. Atur dalam perda. Akses jalannya masuk lewat Desa Perasi, nanti hasilnya dibagi sesuai kesepakatan. Kalau demikian kan situasi lebih aman. Tidak rebutan,” katanya.

Pihaknya mengaku kini Kejari Amlapura lebih mengutamakan pencegahan. Sehingga, sosialisasi ini perlu dilakukan kepada seluruh bendesa adat berikut para perbekel se-Karangasem.

Tetapi, setelah sosialisasi ini, masih juga ada yang melakukan pungutan hanya bermodal perarem, dia mengaku tidak segan-segan akan menindaknya.

Baca juga:  Jaksa Periksa Tersangka OTT di Lapas Kerobokan

Sekda Karangasem I Gede Adnya Muliyadi sepakat dengan pemaparan Kajari Amlapura. Pemahaman payung hukum ini penting, karena saat ini setiap desa sedang menggalakkan desa wisata dan menggali potensi desanya. Ini terjadi, karena Pemkab Karangasem merencanakan pariwisata sebagai sektor utama pendapatan asli daerah, setelah galian C tak bisa diandalkan lagi.

Ketua DPRD Karangasem, Nengah Sumardi, menegaskan pendapatan dalam pemerintah daerah ada dua jenis, yakni retribusi dan pajak. Muaranya tentu hingga ke tingkat desa. Hasil dari pajak maupun retribusi ini, tentu nantinya kembali ke desa untuk kesejahteraan masyarakat. “Retribusi boleh dilakukan desa adat, asalkan dinaungi oleh perda,” kata Nengah Sumardi seraya menyampaikan kerja sama pemerintah daerah dengan desa adat bisa dilakukan dengan pembentukan badan pengelola. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *