Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Listrik sudah menjadi kebutuhan primer manusia. Kebutuhannya yang semakin meningkat menuntut layanan prima yang semakin berat.

Energi listrik mempunyai peranan vital dan strategis. Vital terkait hajat hidup orang banyak dan stategis karena menunjang pembangunan nasional. Konsekuensinya, listrik mesti diwujudkan secara andal, aman dan ramah lingkungan.

Andal dengan jaminan kontinuitas, aman terhadap manusia dan berdampak positif bagi restorasi ekologi.
Hijrah kelistrikan menuju energi baru dan terbarukan (EBT) dijanjikan terealisasi bertahap ke depan.

Fakta di lapangan masih jauh panggang dari api. Terbaru justru muncul kontroversi dari aspek regulasi sebagai payung tertinggi. RUU EBT yang disiapkan pemerintah dan kini sedang digodok bersama DPR memasukkan aturan-aturan kontroversial yang berpotensi merugikan finansial sekaligus ekologi.

Poin krusial yang menjadi kontroversial adalah dimasukkannya batu bara dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT). Energi fosil yang masih dominan dalam bauran energi nasional berpotensi menimbulkan kerugian finansial bagi pemerintah sekaligus kontraproduktif bagi pembangunan berkelanjutan.

Baca juga:  Akibat Konsleting Listrik, Restoran Ludes Terbakar

Energi fosil yang dimasukkan ke dalam daftar energi baru RUU EBT tersebut salah satunya adalah gasifikasi batubara. Penggunaan energi fosil dalam masa transisi menuju energi terbarukan sebetulnya hal lazim. Transisi harus berjalan bertahap dan gradual dengan target yang pasti.

Namun, persoalannya adalah negara masih memasukkan sumber energi yang seharusnya ditinggalkan dan dibingkai seolah-olah menjadi energi baru.

Tantangan Listrik EBT

Upaya PLN masih belum mampu menyelesaikan masalah listrik. Banyak wilayah yang bahkan masih belum tersentuh listrik. Wilayah

yang sudah terpasang jaringan juga tidak sedikit
yang mesti setiap hari merasakan pemadaman
bergilir. Kondisi faktual kelistrikan ini membutuhkan upaya yang cepat dan solutif. Energi terbarukan menjadi solusi yang harus segera direalisasikan.

Pemerintah telah berkomitmen dalam Paris Agreement Lewat Capaian Target EBT (energi baru terbarukan) 2025. Komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23%, akan dipenuhi melalui PLTA 10,4%, dan PLTP dan EBT lainnya sebesar 12,6%.

Baca juga:  Filosofi Adat Bali dan Agama

Untuk memenuhi tercapainya Bauran Energi 23% sesuai dengan kebijakan energi nasional di tahun 2025, Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan. Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero), Kementerian ESDM juga telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan.

Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan
pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga
2028 adalah 16.765 MW. Wanhar (2019) mengemukakan bahwa peluang pengembangan EBT di Indonesia terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut antara lain: pertama, rasio elektrifikasi di daerah Timur Indonesia masih bisa ditingkatkan.

Kedua, harga solar panel yang akan semakin kompetitif. Ketiga, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan. Keempat, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah. Kelima, keterlibatan masyarakat
dalam penyediaan feedstock Keenam, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN).

Baca juga:  Ini, Energi Paling Potensial Dikembangkan Jadi EBT di Bali

Pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan. Seperti BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah, harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP.

Beberapa daerah memiliki install capacity yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil.

Kompleksitas permasalahan mesti diurai secara sistematis dan berkelanjutan. Di sisi lain RUU EBT yang kontraproduktif bagi pengembangan listrik EBT mesti dihentikan kontroversinya.

Gerakan mesti kerahkan guna menekan pemerintah dan DPR membatalkan masuknya gasifikasi batubara. Jika masih belum berhasil dan RUU melenggang mulus, maka judicial review melalui MK mesti ditempuh dan disiapkan sejak sekarang. Apapun itu kebutuhan listrik ke depan mesti dijamin dengan pengembangan listrik berbasis EBT yang masif.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *