JAKARTA, BALIPOSTA.com – Secara bertahap, Indonesia akan kembali membuka pintu kedatangan bagi pelaku perjalanan internasional. Hal ini dilakukan sebagai salah satu langkah pemulihan ekonomi masyarakat dan mengantisipasi potensi kenaikan kasus. Demikian dikatakan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito, dalam Keterangan Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Selasa (12/10) yang juga disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Dalam penerapannya kelak, akan diselenggarakan secara ketat demi mencegah terjadinya penularan. Dan semua pelaku perjalanan wajib mentaati aturan yang telah ditetapkan. Sementara, para petugas di lapangan diminta tidak melakukan pelanggaran dan menegakkan aturan secara disiplin dan bertanggungjawab. “Apabila ada peserta perjalanan yang tidak memenuhi syarat atau tidak mematuhi aturan, akan ditolak untuk masuk ke Indonesia dan diminta pulang ke negara asalnya,” jelasnya dikutip dari rilis KCPEN, Rabu (13/10)
Pemerintah saat ini sedang merancang kebijakan dengan hati-hati agar pemulihan ekonomi bisa berjalan secara aman. Mengenai rincian pelaksanaannya akan diatur dalam Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 yang dalam waktu dekat akan segera diumumkan kepada publik.
Untuk itu, Satgas meminta kepada semua pihak yang diberikan wewenang untuk melaksanakan dan mengawasi jalannya kebijakan ini untuk melakukan tugasnya dengan bertanggung jawab. “Apabila ditemukan pelanggaran disiplin dari petugas di lapangan akan diberikan sanksi tegas. Penting untuk diingat bahwa meskipun saat ini kita tengah berupaya melakukan pemulihan ekonomi, keamanan dan kesehatan masyarakat Indonesia harus tetap menjadi prioritas utama,” tegas Wiku.
Angka testing COVID-19 Indonesia menunjukkan perkembangan sangat baik. Peningkatan angkanya konsisten selama 4 minggu berturut-turut dan per 10 Oktober 2021, jumlah orang yang diperiksa dalam 1 minggu mencapai lebih dari 1 juta orang per minggu atau tepatnya 1.203.873 orang. Di minggu terakhir juga, persentase orang positif hanya 0,71% dari total orang yang diperiksa. “Tentunya ini adalah perkembangan yang sangat baik dengan tingginya jumlah orang yang diperiksa. Maka kasus COVID-19 di Indonesia pun dapat segera terdeteksi dan tidak dibiarkan semakin menular,” katanya.
Dalam pemeriksaan COVID-19 di Indonesia, ada 2 jenis metode yang digunakan. Pertama, adalah deteksi materi genetik virus atau Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) seperti PCR dan TCM atau tes cepat molekular. Tes ini sebagai standar utama pemeriksaan dan penegakkan diagnosis COVID-19. Digunakan untuk pasien positif, suspek atau orang diduga terinfeksi, kontak erat maupun syarat tertentu bagi pelaku perjalanan.
Untuk jenis kedua, adalah deteksi antigen. Tes rapid antigen lebih sering digunakan sebagai skrining awal, maupun syarat beberapa aktivitas sosial-ekonomi termasuk pelaku perjalanan.
Meski demikian, deteksi NAAT tetap merupakan standar utama sehingga penegakan diagnosis tes antigen untuk pasien maupun kontak erat perlu dilengkapi dengan tes NAAT jika tersedia. “Agar semakin akurat hasilnya,” imbuh Wiku.
Di Indonesia sendiri penggunaan antigen mulai digunakan sejak bulan Maret 2021. Dan perlu diperhatikan bahwa jumlah orang yang diperiksa dengan PCR dan TCM, maupun antigen, jumlahnya fluktuatif seiring dengan berjalannya waktu.
Seperti saat lonjakan kedua pada bulan Juli lalu, terlihat bahwa jumlah gabungan PCR dan TCM lebih tinggi dibandingkan antigen. Yaitu lebih dari 700 ribu orang atau hampir 2 kali lipat dari antigen sekitar 400 ribu orang. Gabungan PCR dan TCM pun mendominasi lebih dari 60% pemeriksaan COVID-19 pada saat itu. “Hal ini menunjukkan bahwa jenis pemeriksaan pada saat itu lebih banyak pada penegakkan diagnosis pada pasien COVID-19, orang bergejala maupun kontak erat,” lanjut Wiku.
Lalu, seiring penurunan kasus dan peningkatan kembali aktivitas sosial-ekonomi, jumlah tes antigen kembali mendominasi, berkebalikan dari kondisi sebelumnya. Data menunjukkan bahwa selama hampir 8 minggu terakhir jumlah orang yang diperiksa dengan antigen konsisten lebih tinggi dibandingkan gabungan PCR dan Antigen.
Bahkan pada 3 Oktober lalu jumlah orang yang diperiksa dengan antigen mencapai hampir 1 juta orang atau 4 kali lipat dari gabungan PCR dan TCM yang hanya 260 ribu orang saja. Adanya peningkatan cakupan testing ini patut diapresiasi. “Angka gabungan PCR dan TCM yang rendah ini dapat menandakan jumlah orang yang bergejala maupun kontak eratnya juga menurun drastis,” kata Wiku.
Namun, penting diingat bahwa tes PCR dan TCM, serta tes deteksi NAAT lainnya perlu terus ditingkatkan sebagai standar utama pemeriksaan COVID-19. Pada keadaan kasus rendah seperti sekarang, penting menjaga jumlah pemeriksaan tetap tinggi. Agar jika penularan kembali meningkat, dapat segera terdeteksi dan cepat ditangani sebelum lonjakan kasus signifikan terjadi.
Sementara pemeriksaan antigen sebagai skrining dapat digunakan dan menjadi akurat dengan catatan alatnya memiliki akurasi tinggi. Dibuktikan dengan izin edar dan rekomendasi dari instansi kesehatan. Kemudian, sampel diambil oleh petugas kesehatan terlatih dengan metode yang benar dan dilengkapi dengan tes konfirmasi PCR atau TCM jika tersedia.
Untuk itu masyarakat yang bergejala atau kontak erat dimohon segera melakukan pemeriksaan PCR atau TCM atau tes deteksi NAAT lainnya. “Jika masyarakat mendapati hasil tes antigen positif atau negatif, tetap perlu dikonfirmasi ulang dengan tes deteksi NAAT jika tersedia. Agar hasilnya benar-benar akurat,” Wiku menambahkan.
Pada sisi pemerintah perlu terus mendorong penggunaan metode deteksi NAAT yang akurat dan lebih mudah dijangkau. Terkait metode pemeriksaan COVID-19, saat ini di Indonesia telah dikembangkan metode Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) yang kedepannya akan diberdayakan disamping PCR dan TCM.
Sedangkan di berbagai negara lain terdapat beberapa jenis tes deteksi NAAT yang secara resmi digunakan. Seperti Nicking Endonuclease Amplification Reaction (NEAR), Transcription Mediated Amplification (TMA), Helicase Dependent Amplification (HDA), Cluster Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR)
dan Strand Displacement Amplification (SDA). “Seluruh metode pemeriksaan tersebut baik deteksi NAAT maupun antigen perlu dilakukan random checking dan kalibrasi secara berkala agar hasil pemeriksaan valid dan akurat,” pungkas Wiku. (Kmb/Balipost)