Oleh Achmad Ali
Dalam siaran persnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau deflasi sebesar 0,04 persen pada September 2021 setelah pada bulan sebelumnya mencatat inflasi 0,03 persen (month-to-month/mtm). Dengan begitu, untuk kali kedua sepanjang 2021, Indonesia mencatat deflasi setelah yang pertama terjadi pada Juni sebesar 0,16 persen.
Pendorong utama deflasi pada September 2021 tersebut terjadi pada kelompok makanan, minuman dan tembakau yang mencatat deflasi 0,47 persen (mtm), dengan memberi share pada deflasi sebesar 0,12 persen. Apakah ini pertanda menurunnya daya beli masyarakat?
Inflasi yang rendah (deflasi) dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama adalah pasokan (suplai) yang berlimpah dan kedua adalah permintaan (demand) yang turun.
Bisa dikatakan terjadinya deflasi atau inflasi yang rendah tersebut sebagai alarm adanya perlambatan daya beli masyarakat. Hal ini juga terkonfirmasi dari penurunan inflasi inti (core inflation) di tengah Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebesar 3,50 persen. Tercatat inflasi inti pada September 2021 sebesar 0,13 persen (mtm), menurun dari bulan sebelumnya 0,21 persen (mtm).
Berdasarkan komoditasnya, penurunan inflasi inti terutama dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas emas perhiasan seiring pergerakan harga emas global. Penurunan inflasi inti lebih lanjut tertahan oleh inflasi komoditas sewa rumah seiring mobilitas masyarakat yang membaik akibat pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pada prinsipnya, inflasi yang rendah, bahkan berada di level deflasi akan menekan pertumbuhan ekonomi dan berakibat tekanan pada daya beli masyarakat, sehingga berujung pada roda perekonomian tidak berjalan maksimal. Oleh karenanya, menjaga angka inflasi perlu memperhatikan dua faktor sekaligus, yakni level inflasi yang membuat denyut perekonomian bisa optimum dan sekaligus tidak membuat daya beli masyarakat menurun.
Paling tidak ada tiga hal yang pantas kita beri catatan. Pertama, deflasi yang terjadi dan masih lesunya daya beli masyarakat ternyata secara linier diikuti dengan penurunan penjualan ritel dan ekspektasi konsumen terhadap perkembangan perekonomian. Kendati sudah berjalan cukup lama, tetapi dampak kebijakan PPKM ketat pada Juli – Agustus 2021 masih terasa. Permintaan belum pulih seratus persen seperti dulu lagi. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari laporan penjualan ritel yang dikeluarkan BI. Tercatat, pada Juli 2021 penjualan ritel terkontraksi (tumbuh negatif) sebesar 2,9 persen (year on year/y-on-y). Untuk Agustus 2021, penjualan ritel diperkirakan masih terkontraksi 0,1 persen (y-on-y).
Selain itu, BI juga melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2021 hanya 77,3, lebih rendah dari IKK bulan sebelumnya 80,2. IKK Agustus ini adalah rekor terendah setelah pada Mei 2020 lalu merosot ke 77,8. IKK merupakan salah satu alat untuk mengukur perekonomian, khususnya terkait tingkat konsumsi dan perekonomian jangka pendek.
Tren kepercayaan konsumen yang meningkat mengindikasikan perbaikan pola belanja (pembelian) konsumen. Semakin konsumen merasa yakin tentang kondisi ekonomi, maka semakin tinggi untuk melakukan pembelian.
Secara umum, kepercayaan konsumen yang lebih tinggi menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan konsumsi yang lebih tinggi. Sebaliknya, kepercayaan konsumen yang lebih rendah menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan pengeluaran konsumen yang cenderung menurun. IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 100, maka konsumen pesimistis dalam memandang kondisi ekonomi saat ini hingga enam bulan ke depan.
Kedua, selain pelemahan daya beli masyarakat, penurunan IKK bisa mengindikasikan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun ini, terutama pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Data BPS mencatat konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 3,17 persen pada kuartal II 2021 (y-on-y) lalu.
Jika konsumsi rumah tangga melambat atau bahkan terjun bebas, maka kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi juga terperosok mengingat kontribusinya yang mencapai 55,07 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II 2021. Dalam kaitan ini, Asian Development Bank (ADB) memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh 3,5 persen pada 2021 dan 4,8 persen pada 2022 di tengah pandemi Covid-19.
Untuk keluar dari situasi ini pemerintah bisa menopang disposible income masyarakat dalam jangka pendek dengan terus mendorong bantuan sosial (bansos) tunai. Sementara untuk jangka menengah dan panjang adalah dengan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan yang besar kemungkinan jumlahnya akan melonjak.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan penyaluran bansos lebih cepat lagi, terutama bagi kelompok masyarakat rentan miskin dan sangat miskin (miskin ekstrem) terdampak pandemi Covid-19, sehingga menjadi bantalan agar konsumsi masyarakat tidak makin terperosok lebih dalam.
Ketiga, upaya menjaga inflasi dalam kisaran 3 ± 1 persen (y-on-y) sebagaimana ditargetkan pemerintah perlu dilakukan dengan memperkuat empat pilar strategi yang mencakup ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, keterjangkauan harga, dan komunikasi efektif di masa pandemi. Selain itu, menjaga dan meningkatkan pendapatan masyarakat untuk mendorong level konsumsi sedikit lebih baik perlu menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Penulis Pemerhati Ekonomi, Statistisi Ahli Madya pada BPS Provinsi Papua Barat.