Kajari
Forkopinda saat menggelar pertemuan dengan para bendesa adat se-Karangasem, Selasa (19/9) siang. (BP/gik)
AMLAPURA, BALIPOST.com – Sejumlah desa adat di Bali bereaksi atas pernyataan Kajari Amlapura perihal pungutan hanya dengan dasar perarem sama dengan pungutan liar. Mereka yang bereaksi adalah desa adat yang sudah susah payah membuat objek wisata dengan dana swadaya masyarakat.

Salah satunya, adalah Desa Adat Bugbug, Kecamatan Karangasem. Salah satu tokoh masyarakat setempat, Kamis (21/9), I Nengah Yasa Adi Susanto mengatakan pernyataan seorang “jendral” hukum di daerah itu jelas melanggar Perda Provinsi Bali tentang Desa Pakraman.

Adi Susanto mengaku sangat prihatin dan menyayangkan pernyataan yang diungkapkan oleh Kajari Amlapura ini. Seharusnya sebagai orang yang memimpin lembaga penegakan hukum di Karangasem, dia lebih memahami aturan yang mengatur tentang pungutan atau sumbangan yang didapatkan oleh desa adat.

Sangat jelas disebutkan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman khususnya Bab VI Pasal 10 terkait Pendapatan Desa Pekraman. Pada ayat (1) menyatakan bahwa pendapatan desa pekraman diperoleh dari urunan krama desa pekraman, hasil pengelolaan kekayaan desa pekraman, hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD), bantuan pemerintah dan pemerintah daerah, pendapatan lainnya yang sah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat.

Baca juga:  Kepemilikan Toko Modern Diyakini Tingkatkan Perekonomian Masyarakat Desa Adat

Jadi menurutnya, jelas sekali kalau menurut Perda Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman, bahwa pungutan yang dilakukan sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf f oleh desa adat yang diatur melalui pararem adalah sah secara hukum adat. Ini tidak bisa dikatakan pungli.

Adi Susanto, yang juga seorang Advokat ini menambahkan, bahwa semua pihak harusnya menghormati keberadaan hukum adat. Sebab, hukum adat itu bahkan diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Jadi, seharusnya semua pihak menghormati aturan yang dibuat oleh desa adat melalui pararem atau awig. Sehingga pungutan yang dilakukan oleh desa adat yang pengaturannya melalui pararem sepanjang tidak berlebihan adalah sah secara hukum adat dan tidak bisa dikatakan pungli.

Baca juga:  TPDI Minta KPK Tetapkan Aziz Syamsuddin Sebagai Tersangka

Jadi sangat jelas, pungutan yang dilakukan desa adat kepada pihak ketiga yang masuk ke kawasan wisata yang merupakan wewidangan desa adat tersebut adalah sah bahkan merupakan perintah Perda Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman, khususnya pasal 10 ayat (1).

Sebagai contoh nyata adalah di desa Bugbug yang memiliki kawasan wisata Bukit Asah dan Pasir Putih, warga setempat membuka jalan dengan biaya sumbangan dari masyarakat Bugbug. Pembuatannya menghabiskan biaya miliaran rupiah. Sepeserpun belum ada bantuan dari Pemkab Karangasem terkait pembuatan jalan dari Bukit Asah menuju Pantai Bias Putih tersebut. Sehingga Desa Adat Bugbug membuat pararem terkait pemungutan sumbangan untuk penataan jalan dan kawasan wisata Bukti Asah dan Bias Putih kepada setiap orang luar Desa Adat Bugbug yang melancong atau melilacita ke kawasan tersebut.

Baca juga:  Atasi Pandemi COVID-19, Diusulkan Tambahan Bantuan Dana Desa Adat

“Apakah pungutan tersebut dikatakan pungli?, bagaimana dengan tempat lainnya di Bali seperti pungutan untuk masuk ke Pantai Pandawa, Pantai Kedonganan, Pantai Sanur dan daerah wisata lainnya di Bali apakah itu juga pungli? Semua pungutan tersebut dasarnya adalah pararem dan bahkan ada yang hanya berdasarkan keputusan Bendesa Adat,” katanya.

Pihaknya berharap pejabat di Karangasem jangan membuat statemen yang bisa meresahkan. Bila Pemkab ingin ikut menikmati kue dari sumbangan tersebut, tinggal dikomunikasikan saja dengan desa adat masing-masing. Jangan justru mengeluarkan statemen yang bernada ancaman.

Seperti diberitakan Harian Bali Post sebelumnya, Kajari Karangasem  I Nyoman Sucitrawan mengatakan pungutan desa adat tanpa dipayungi perda kabupaten, adalah pungli. Pernyataan itu disampaikan pada rapat dengan pimpinan lembaga daerah yang tergabung dalam Forkopinda Karangasem bersama  seluruh bendesa adat se-Karangasem di Gedung UKM Center, Amlapura, Selasa 19 September lalu. (bagiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *