Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H.,M.Kn

Tren perkembangan pandemi Covid-19 terus menunjukkan gejala menurun. Untuk Bali data terakhir angka kematian harian telah mencapai di bawah 5 orang. Hal ini patut disyukuri, dan oleh karena itu pemerintah telah merencanakan sejak bulan Oktober 2021 secara bertahap akan membuka penerbangan internasional, dengan persyaratan yang ketat.

Jika perkembangan pandemi ini terus membaik, sampai mencapai titik nol. Sangat mungkin dapat diprediksi pada awal 2022 akan biasa dimulai kebiasaan kehidupan baru (new normal). Walaupun virus Covid-19 relatif masih ada, namun kita tetap bisa berdampingan. Karena dianggap tidak begitu berbahaya. Dan dampak berikutnya objek wisata akan dibuka kembali. Itulah sebuah harapan. Jika harapan itu terjadi, apa yang perlu dilakukan untuk sektor objek wisata.

Berbicara objek wisata, khususnya tempat suci di Bali seperti pura, sebelum wabah Covid-19 menyerang dunia, tempat suci di Bali sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan. Sudah tentu kunjungan wisatawan yang demikian punya dampak tersendiri. Secara positif bisa diakui bahwa dari segi ekonomi akan menghasilkan banyak dolar. Namun dampak negatif tanpa disadari akan mencederai kesucian pura itu sendiri.

Baca juga:  Bahasa Daerah Vs Kapitalisasi Bahasa

Pangempon pura selama ini hanya membuat aturan sederhana, misalnya pengunjung yang sedang menstruasi dilarang masuk, dan yang boleh masuk hanya mengenakan kain seadanya yang disiapkan oleh panitia. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa pengunjung benar-benar taat aturan. Secara kasat mata sudah sering terjadi, tatkala umat Hindu sedang khusyuk sembahyang di pura, tiba-tiba di depan umat yang sedang sembahyang berseliweran wisatawan di tempat tersebut.

Pernah juga terjadi ketika umat Hindu akan mulai sembahyang odalan, kemudian masuk wisatawan asing lengkap dengan ransel di punggung ikut bersembahyang tanpa pakaian adat dan tidak membawa bunga. Dan kasus yang lainnya wisatawan asing dengan suka ria berfoto, naik berdiri di sebuah palinggih. Itulah kenyataan-kenyataan yang ada.

Baca juga:  Literasi Digital untuk Pemberdayaan Perempuan

Mengenai hal-hal itu itu, di masa yang akan datang pasca pandemi, mungkin saja akan terjadi hal yang sama. Menghadapi keadaan seperti itu, pemerintah sewajarnya memikirkan, bagaimana hal itu tidak terjadi, tetapi  wisatawan tetap merasa nyaman dan mendapat informasi yang baik tentang pura.

Solusi yang bisa ditempuh misalnya, pemerintah daerah membuat aturan mengenai wisatawan masuk ke pura. Antara lain wisatawan hanya bisa masuk ke jaba sisi atau hanya boleh di jaba tengah. Untuk masuk ke utamaning  mandala, harus mendapat izin khusus dari otoritas setempat, dan dengan berpakaian adat lengkap. Dan selain itu untuk menghindari tempat suci digeruduk oleh para wisatawan. Sebaiknya pemerintah daerah menetapkan lokasi tertentu untuk dibangun pura sample semacam mesium yang tidak disakralkan yang lengkap dengan palinggih-nya, dan bebas dimasuki oleh para wisatawan. Di sini pemandu wisata dapat menjelaskan fungsi-fungsi  palinggih, dan setiap areal pura.

Baca juga:  Kendalikan COVID-19, Ini 3 Pilar Utama dan Targetnya

Di samping itu, lebih lengkap jika di areal pura sample tersebut dibangun juga sampel rumah adat Bali. Dengan cara seperti ini bukan berarti objek wisata di pedesaan yang menyediakan rumah adat kuno untuk objek wisata dilarang. Namun setidaknya para wisatawan mendapat banyak pilihan. Kalau wisatawan menginginkan nuansa pedesaan dengan atmosfer natural dengan sendirinya mereka ke pedesaan. Itulah sebuah pilihan, yang penting  intinya menjamin kenyamanan wisatawan, dan di sisi lain, tidak mencederai kesucian pura.

Penulis, Pensiunan Jaksa

BAGIKAN