Oleh Kadek Suartaya
Salah satu tokoh epos Mahabharata yang ikonis sekaligus ironis adalah Gatotkaca. Kehebatan patriot Pandawa yang dikisahkan bisa terbang tanpa sayap ini, dapat disimak dalam beragam ungkapan seni sastra klasik, seni pertunjukan tradisional, hingga ekspresi seni format modern, seperti animasi, film dan sinetron.
Tentu saja, masyarakat Indonesia, terutama di Jawa dan Bali khususnya sangat terkagum-kagum pada putra Bima ini dari bayang-bayang pagelaran wayang kulit. Ketulusannya yang rela berkorban jiwa dan raga menjadi tumbal perang Bharatayuda, sungguh mengharukan.
Ironisnya, Gatotkaca menyongsong ajalnya sebagai pahlawanan kusuma bangsa di usia muda. Figur si Gatot dari tuturan kelir jagat wayang ini bukan hanya terpatri di hati masyarakat biasa.
Tidak kurang dari Presiden I Republik Indonesia (RI), Sukarno mengidolakan si perkasa “otot kawat balung wesi” ini. Saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963, Bung Karno dalam pidatonya sering menyelipkan seru pekik “ini dadaku, mana dadamu? dengan suara lantang disertai lagak bak Gatotkaca.
Sebagai wujud kegandrungannya pada putra Adimbi (Bali: Dimbi) ini, sang proklamator kemerdekaan juga meminta pelukis Basuki Abdullah menggambarkan Gatotkaca sedang terbang menyibak awan dalam sebuah kanvas besar. Sementara itu, Rusman Harjo Bakso, maestro Wayang Orang Sriwedari Solo, sering juga diminta Putra Sang Fajar untuk menunjukkan kepiawaiaannya menarikan tokoh Gatotkaca di Istana Negara.
Ternyata, bukan hanya Sukarno mengagumi Gatotkaca, Presiden ke-2 RI, Soeharto rupanya tak ketinggalan. Pada tahun 1985, pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Negara (IPTN) diberi nama Tetuko (nama kecil Gototkaca) oleh penguasa Orde Baru ini.
Kisah yang menyangkut tokoh Gatotkaca sudah mulai dikenal masyarakat Nusantara pada abad ke-11, zaman Kerajaan Kediri di Jawa Timur. Pujangga kraton, Mpu Panuluh telah menuturkannya secara tertulis dalam karya sastra bertajuk Gatotkacasraya. Seni sastra prosa lirik ini menceritakan kisah romastis perkawinan Abimanyu (Bali: Bimaniu) yang tak lain dari putra Arjuna dengan putri Kresna, Siti Sundari.
Dalam cerita tersebut, Gatotkaca berhasil mempertemukan sepasang kekasih itu, melalui suatu perjuangan yang pelik dan dramatis, memenangi
persaingan dengan Korawa yang ngotot memaksa Siti Sundari untuk dijodohkan dengan Laksana Kumara, putra kesayangan petinggi Korawa, Duryadana.
Kitab Gatotkacasraya banyak mengilhami para seniman. Di Bali, karya Mpu Panuluh ini, dituangkan dalam sejumlah seni pertunjukan.
Salah satu seni pertunjukan tradisi yang lazim menyajikannya adalah Parwa, dramatari yang memang secara spesifik mengangkat lakon dari cerita
Mahabharata. Petualangan Gatotkaca dalam karya sastra ini juga luwes dipentaskan dalam bingkai teater Arja dan ungkapan seni dramatari alias sendratari.
Sementara dalam bentuk tari kreasi, sebuah penggambaran kepahlawana Gatotkaca dalam perang Bharatayuda, salah satunya, dikoreografi cukup apik dan kreatif oleh I Nyoman Cerita, berjudul Satya Brasta (1989). Klimaks tari ini menggambarkan gugurnya Gatotkaca oleh senjata konta yang dilontarkan Karna.
Suri teladan yang paling heroik dari Gatotkaca dalam perang hidup mati di medan Kuruksetra adalah ketika menyelamatkan Pandawa dari kekalahan perang melawan Korawa. Jika senjata konta-nya Karna—
hanya dapat digunakan sekali saja–diarahkan kepada satria andalan Pandawa, Arjuna, sudah pasti perang Bharatayuda berakhir dengan kedigjayaan pihak Korawa.
Pada posisi inilah, Gatotkaca terbang menyongsong
dengan gagah berani senjata pamungkas Karna. Senjata konta pun menjemput nyawa Gatotkaca.
Gatotkaca menunaikan tugas mulia nan mengharukan, setia dan taat dengan pemegang otoritas, yaitu Pandawa dengan penasihat Sri Kresna. Sumbangsih dan sepak terjang Si Gatot kepada negara ini jauh dari pamerih merengkuh pengakuan atau pun menyasar jabatan.
Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar