Rekahan cukup parah terjadi di jalur pendakian Bukit Abang pascagempabumi magnitudo 4,8 yang terjadi Sabtu (16/10/2021). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Badai La Nina diprediksi akan melanda wilayah Bali pada November 2021 hingga Februari 2022. Ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan curah hingga 70 persen di atas normal.

Menurut Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRG) Provinsi Bali, I Gede Sudiartha, rekahan yang terjadi akibat gempabumi bermagnitudo 4,8 pada Sabtu (16/10) perlu ditangani segera. Rekahan yang banyak terjadi di Karangasem dan Bangli ini bisa mengakibatkan bencana lebih besar saat intensitas hujan mengalami peningkatan.

Dikatakan, rekahan banyak terjadi di Bukit Abang dan Trunyan, Bangli. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap potensi dampak yang ditimbulkan akibat bencana hidrometeorologi. Seperti, tanah longsor, banjir, banjir bandang, angin kencang, dan badai tropis/puting beliung.

Ia mengatakan mitigasi efektif yang dilakukan untuk mencegah risiko bencana yang diakibatkan bencana hidrometeorologi adalah mitigasi yang sifatnya struktural, yakni menginventarisasi dan identifikasi kapasitas lokal yang ada. Terutama kapasitas logistik yang menjadi paling critical. “Kami di FPRB berperan sebagai pendamping pemerintah untuk merumuskan kebijakan-kebijakan efektif respons dan memfasilitasi menyusun rencana kontijensi atau darurat,” tegasnya.

Baca juga:  Sudah 4 Hari, Gempa Susulan Masih Guncang Karangasem

Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, I Made Rentin, mengatakan dalam upaya mitigasi bencana hidrometeorologi, BPBD selalu berkoordinasi dengan pihak terkait, khususnya dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mengetahui secara dini perkembangan cuaca di wilayah se-Bali.

Dikatakan, bahwa meskipun tidak masif namun bencana yang diakibatkan karena hujan (hidrometeorologi) frekuensinya mayoritas, yaitu hampir 90 persen. Sehingga berisiko terhadap kerugian bahkan korban jiwa.

Oleh karena itu, seluruh stakeholder, masyarakat, dunia usaha dan pemerintah secara pentahelix wajib melakukan upaya-upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana ini. Apalagi, langkah mitigasi lain seperti sosialisasi dan kegiatan monitoring juga terus dilakukan.

Baca juga:  Perlu Diwaspadai, Gempa Dangkal Daya Rusaknya Lebih Besar

Sebab, dinamika informasi peringatan dini sangat tinggi, bisa harian atau mingguan. Sehingga penting untuk dilakukan monitoring terhadap perkembangan cuaca. Selanjutnya dilakukan pemetaan kapasitas untuk memudahkan koordinasi apabila terjadi bencana di wilayah tertentu yang berkoordinasi dengan Basarnas.

Terkait dengan anggaran kebencanaan, Rentin menjelaskan bahwa total anggaran kebencanaan yang dianggarkan Provinsi Bali melalui APBD sebesar Rp 4 miliar per tahun. Sesuai Peraturan Gubernur Nomor 32 Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Sosial Yang Tidak Dapat Direncanakan Sebelumnya Untuk Korban Bencana/Musibah, anggaran ini dapat dipergunakan untuk perbaikan/rehabilitasi.

Diantaranya, untuk sarana dan prasarana perekonomian, seperti rehabilitasi rusak ringan dapat dibantu paling banyak Rp 7.500.000, rehabilitasi rusak sedang dapat dibantu paling banyak Rp 15.000.000, dan rehabilitasi rusak berat dapat dibantu paling banyak Rp 25.000.000. Sedangkan untuk Rumah, rehabilitasi ringan dapat dibantu paling banyak Rp 7.500.000, rehabilitasi sedang dapat dibantu paling banyak Rp 15.000.000, rehabilitasi berat dapat dibantu paling banyak Rp 25.000.000, dan pembangunan kembali rumah yang hancur total dapat dibantu paling banyak Rp 50.000.000.

Baca juga:  Rekor Baru Kesembuhan Dicatatkan Bali, 6 Wilayah Sumbang Tambahan 3 Digit

Sementara untuk Fasilitas Umum, rehabilitasi ringan dapat dibantu paling banyak Rp 30.000.000, rehabilitasi sedang dapat dibantu paling banyak Rp 40.000.000, dan rehabilitasi  berat dapat dibantu paling banyak Rp 100.000.000. Santunan korban meninggal Rp 15 juta, cacat tetap Rp 20 juta, dan luka berat diberikan Rp 10 juta. (Winatha/balipost)

BAGIKAN