Oleh I Gusti Ketut Widana
Sugihan adalah salah satu rangkaian ritual awal menjelang hari suci Galungan. Ada dua jenis Sugihan yang umum dikenal yaitu Sugihan Jawa, jatuh pada Kamis/Wraspati Wage wuku Sungsang. Menyusul keesokan harinya, Jumat/Sukra Kliwon wuku Sungsang, disebut Sugihan Bali.
Secara filosofis, Sugihan Jawa bermakna simbolik sebagai momen ritual membersih-harmoniskan bhuwana agung (alam semesta), sedangkan Sugihan
Bali lebih kepada pengendalian dan penyucian bhuwana alit (manusia). Konsepsinya, sebelum tiba saatnya melaksanakan ritual Galungan yang disebut juga Piodalan Jagat, segenap unsur alam semesta, terutama manusia agar mendahuluinya dengan kegiatan yang mengarah pada kondisi bersih lahir (fisikal, material), ening (emosional), suci batin (spiritual), dan harmonis (environmental).
Ada beberapa tafsiran terhadap pelaksanaan ritual Sugihan dengan embel-embel “Jawa-Bali” ini. Pertama, mengacu pada bunyi lontar Purana Bali Dwipa, antara lain menyebutkan perihal “pemasukan pajak hasil bumi dari luar Pulau Bali yakni Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan, yang berada di bawah kekuasaan baginda raja di Bali, diupacarakan pada Kamis Wage Sungsang yang merupakan hari Sugihan Jawa. Khusus bagi penduduk asli Bali, upacaranya dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugihan Bali…”.
Kedua, berhubungan dengan umat yang melaksanakan Sugihan tersebut. Sugihan Jawa, dikait-kaitkan dengan umat Hindu yang berasal atau merupakan keturunan dari wong Majapahit (Kerajaan Hindu terbesar di Jawa) yang secara demografis menjadi krama Hindu mayoritas di Bali. Sedangkan Sugihan Bali, dilaksanakan oleh umat Hindu keturunan
wong Bali Mula atau Bali Aga yang sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Majapahit.
Ketiga, tafsiran terhadap kata “Jawa”, tidak menunjuk suatu etnis/daerah, tetapi sebuah kata yang secara fonetik bisa berubah dan lanjut disepadankan dengan kata “Jaba” (rumpun: p, b, m, w) yang artinya ‘luar’. Contoh “di/ke jaba” Pura artinya di/keluar Pura.
Secara sosiologis istilah “Jawa” juga lumrah digunakan untuk menyebut sesuatu yang berasal dari atau berada di “luar Bali”. Katakan saja di masa lalu,
karena pengetahuan geografis terbatas, pergi me luar Bali atau orang yang berada di luar Bali seringkali dikatakan ke/di Jawa, padahal mungkin saja pergi
dan atau adanya di Sumatra, atau pulau lainnya.
Serupa dengan orang Betawi acapkali menyebut ke/di
Jawa untuk orang-orang yang akan pergi ke/di-luar Jakarta. Sedangkan kata “Bali” tiada lain merupakan
perubahan dari kata “Wali” (baca : mawali), yang jika dikaitkan dengan ritual Sugihan Bali mengandung
makna kembali menyucikan diri sendiri.
Bagaimana halnya jika kemudian muncul pelesetan “Sugihan Nak Jawa”? Ini adalah sebuah kata tergolong frasa direktif, bernada sindiran (sesimbing) untuk menunjukkan, menyamakan atau membandingkan bahwa dengan intensitas ritual yadnya yang begitu tinggi tingkat konsumtifnya, acapkali menjadikan “Nak Bali” (umat Hindu) terjebak
pada aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang realitanya sekarang tidak lagi mampu memberikan daya dukung maksimal terhadap kebutuhan ritual.
Sehingga mau tidak mau harus “ngimpor” alias didatangkan dari “Jawa” (luar) Bali. Setidaknya, dari data yang dihimpun oleh Satuan Pelayanan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) Cekik Gilimanuk (BP, 9/4/21) lalu, tercatat 2.000 ton janur (busung), dan 6.500 ton buah-buahan
masuk ke Bali. Belum lagi ditambah kebutuhan bahan pokok dan bahan material ritual seperti bunga, beras, kelapa, kacang-kacangan, unggas (ayam, bebek), telur, dan lain-lain.
Sementara itu semeton Bali oleh karena lebih berposisi sebagai pengguna, tentu menjadi lebih konsumtif pola dan gaya hidupnya. Akhirnya sudah umum dan menjadi maklum ketika mendengar kata satir “Sugihan Nak Jawa”.
Tidak keliru dan memang masuk aka hingga sampai pada suatu simpulan bernada nyinyir sekaligus nyindir, bahwa “Nak Jawa” hanya dengan menjual bakso (mampu) membeli tanah, sedangkan “Nak Bali” dengan terpaksa mengomandokan gerakan aba-aba baris-berbaris : “adep kanan, adep kiri” — menjual tanah/sawah cuma untuk membeli bakso. Sebuah
ironi di bumi Bali.
Penulis, Dosen UNHI, Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar