Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Tak tanggung-tanggung Kementerian PUPR berencana mengosongkan 205 unit bendungan di Indonesia dengan total kapasitas 4,7 miliar meter kubik. Tindakan ini sebagai antisipasi potensi banjir karena curah hujan akibat pengaruh badai La Nina sebagaimana prediksi BMKG.

Hal ini menunjukkan potensi banjir besar akibat La Nina. BMKG memprakirakan tahun ini La Nina bisa menyebabkan peningkatan curah hujan bulanan sekitar 20 hingga 70 persen di atas normal.

Dengan adanya potensi peningkatan curah hujan pada
periode musim hujan ini, maka diperlukan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap potensi lanjutan bencana hidrometeorologi akibat curah hujan tinggi. Pernahkah kita sadari bahwa genangan air setinggi 20 cm dalam bentangan 2 m x 2,5 m (5 m2) memiliki berat sebesar 1.000 kg alias satu ton.

Bisa kita bayangkan jika terjadi hujan lebat dan meciptakan genangan air pada tanah lereng/perbukitan, berapa ton potensi berat akibat air hujan yang dapat meresap ke dalam tanah memicu
terjadinya longsor pada tanah tersebut. Kondisi seperti itulah yang kadang kurang kita sadari atas yang terjadi di lingkungan keseharian kita.

Baca juga:  Apa Bali Masih Perlu Jalur Hijau?

Apalagi cuaca kemarau yang terjadi sebelum datangnya musim hujan biasanya mengakibatkan
terjadinya pelapukan tanah. Tanah menjadi rapuh dan kehilangan daya rekatnya, sehingga adanya air yang meresap akan menimbulkan tanah longsor bersama air.

Berubahnya RTH (Ruang Terbuka Hijau) menjadi area terbangun (utamanya di kawasan hulu/perbukitan) memang menjadi ancaman yang dapat memicu terjadinya bencana tanah longsor. Tertutupnya area
terbuka yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyerapan air hujan tentu akan mengurangi intensitas air yang dapat terserap ke dalam tanah.

Perubahan fungsi ruang/kawasan tersebut harus terus dikendalikan secara ketat sesuai peraturan perundang-undangan yang ada, agar bencana banjir dan tanah longsor yang dahsyat dapat dihindari.
Banjir dan tanah longsor yang melanda suatu wilayah harus menjadi pelajaran bagi para penentu kebijakan tata ruang wilayah.

Baca juga:  Jaga Kelestarian Bale Agung, Pemkab Buleleng Tawarkan Restorasi

Bencana longsor sebenarnya merupakan bencana alam yang bisa diprediksi periode kedatangannya,
dibanding dengan bencana alam vulkanologi (letusan
gunung berapi) dan bencana alam geologi (gempa bumi). Fenomena longsor dalam hidrometeorologi pada dasarnya adalah suatu peristiwa alam biasa
yang dapat terjadi berulang.

Antisipasi terhadap bencana longsor sebenarnya dapat dilakukan dengan melakukan penataan ruang wilayah secara benar sesuai kondisi yang ada pada suatu kawasan, serta menerapkannya secara
konsekuen dan konsisten. Karena acap kali terjadi implementasi tata ruang wilayah yang tidak sesuai akibat tuntutan ekonomi pengguna lahan.

Meski sebenarnya keuntungan ekonomi ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. Karena sebenarnya dalam jangka panjang justru akan mendatangkan kerugian ekonomi lingkungan yang tidak sedikit.

Baca juga:  Ruang Terbuka Hijau GOR Kebo Iwa Digarap

Bencana lingkungan justru secara tidak langsung akan merugikan kehidupan ekonomi keseharian masyarakat itu sendiri. Menjaga keseimbangan lingkungan alam menjadi kata kunci dalam meminimalkan terjadinya dampak bencana longsor.

Bagi krama Bali yang memegang filosofi Tri Hita
Karana, hal ini tentu bukan sesuatu yang asing lagi. Krama Bali cukup bijak dalam menata ruang fisik lingkungan huniannya.

Seperti halnya bagaimana krama Bali menciptakan RTH sebagai kawasan ekologis perkotaan pada telajakan. Demikian juga dengan rumah tradisional krama Bali juga sangat ramah terhadap lingkungan
alam.

Hampir 70 persen area rumah merupakan lahan terbuka, hanya sekitar 30 persen yang merupakan ruang terbangun untuk hunian.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *