Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA. (BP/Istimewa)

Oleh Gede Sedana

Pada akhir Oktober 2021 ini, perubahan iklim, energi dan lingkungan hidup menjadi salah satu topik pembahasan dalam KTT G20 yang dilangsungkan di La Nuvola, Roma, Italia. Perubahan iklim yang terjadi harus dapat ditangani secara bersama-sama antarnegara termasuk secara internal di dalam negeri, seperti di Indonesia.

Kondisi ini sangat erat kaitannya dengan pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu sebanyak 17 tujuan. Salah satu tujuan tersebut adalah no hunger atau mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi, dan mencanangkan pertanian berkelanjutan. Ini berarti bahwa pengelolaan pertanian harus dapat diselenggarakan secara baik dan berkelanjutan yang melibatkan berbagai komponen, khususnya produsen yang umumnya terkategori petani gurem.

Pemerintah dan stakeholder lainnya agar dapat mengambil upaya yang terintegrasi dan saling bersinergi untuk dapat meningkatkan produksi pangan, seperti padi, jagung, umbi-ubian, kedele dan lain sebagainya. Dalam situasi iklim yang berubah dan sangat sulit diprediksi di tingkat petani, misalnya cuaca ekstrem di saat musim hujan yang selalu merugikan petani, maka upaya mitigasi dan adaptasi harus segera disiapkan untuk dilaksanakan. Pemetaan terhadap titik-titik atau wilayah yang sangat rawan bencana (banjir atau longsor) agar dapat disosialisasikan guna dapat disiapkan antisipasinya sehingga aktivitas petani dapat terselamatkan atau meminimalkan risiko kegagalan panen.

Baca juga:  Literasi Mitigasi Bencana Hidrometeorologi

Mitigasi terhadap perubahan cuaca juga terus dilakukan sepanjang tahun termasuk saat memasuki musim kemarau. Para petani harus dilindungi sesuai dengan amanah yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Introduski terhadap teknologi benih menjadi salah satu langkah awal bagi petani guna dapat diaplikasikan dan memberikan ketahanan terhadap perubahan cuaca guna menghasilkan produktivitas yang tinggi. Penerapan teknologi budi daya dalam pengelolaan usaha tani di tingkat petani terus ditingkatkan melalui pendampingan dan pemberdayaan petani melalui kelompoknya, seperti pemeliharaan (pemupukan, irigasi, pengendalian hama dan penyakit) oleh para penyuluh pertanian baik yang berasal dari pemerintah maupun nonpemerintah.

Baca juga:  Kebudayaan Kritis Konstruktif

Teknologi budi daya pertanian harus disertai juga dengan penerapan teknologi panen dan pascapanen guna tetap menjamin kualitas produk yang dihasilkan dan mengurangi kehilangan hasil saat panen dan pascapanen. Dengan demikian, tujuan SDGs ini dapat terwujud melalui pencapaian perningkatan produktivitas lahan dan tanaman serta kualitas produknya.

Teknologi pascapanen ini erat kaitannya dengan pengangkutan, penyimpanan, pengemasan produk dan pemasaran atau distribusi produk sampai pada konsumen. Perbaikan-perbaikan terhadap teknologi pascapanen sekaligus didorong dengan terbentuknya kemitraan usaha yang inklusif guna menciptakan nilai tambah produk, khususnya yang dinikmati oleh para petani produsen. Sistem pemasaran produk pertanian juga agar terjamin dalam suatu system yang saling membutuhkan dan menguntungkan di antara para pelaku pasar dalam supply chain produk tertentu.

Baca juga:  Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem di Indonesia

Mitigasi terhadap perubahan iklim dan cuaca serta sistem pasar ini merupakan salah satu pertimbangan negara di dalam penyusunan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut. Oleh karena itu, pemerintah bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya agar melakukan reorientasi pembangunannya ke arah sektor pertanian sehingga menjadi lebih berdaya saing dan menyejahterakan para petani.

Penulis, Rektor Dwijendra University, Ketua Perhepi Bali dan Ketua HKTI Buleleng

BAGIKAN