I Wayan Ramantha. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Ramantha

Dalam seminggu belakangan ini, di beberapa media hangat didiskusikan tentang modal Lembaga Perkreditan Desa (LPD), terutama yang berasal dari donasi Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Diskusi tersebut nampaknya dipicu oleh adanya beberapa LPD yang menyebut modal donasi sebagai “modal penyertaan” pada bagian akun modal atau ekuitasnya.

Pencantuman nama akun yang tidak wajar itu, kemudian menimbulkan tafsir yang bermacam-macam. Bahkan ada yang menafsirkan pada modal LPD terdapat kekayaan daerah (yang dipisahkan) dengan segala hak dan kewajibannya. Bila dicermati Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 3 Tahun 2017 Tentang Lembaga Perkreditan Desa, Pasal 9 Ayat 3 menguraikan Modal Inti LPD terdiri atas a) Modal Disetor, b) Modal Donasi, c) Modal Cadangan dan d) Laba/Rugi Tahun Berjalan. Mengacu pada dasar hukum ini, jelas tidak ada menyebut Modal Penyertaan. Istilah modal donasi dengan modal penyertaan memiliki makna yang sangat berbeda. Modal donasi merupakan hibah atau sumbangan pemberi hibah (baca Pemda Provinsi Bali), yang bukan merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, seperti penyertaan modal Pemda pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.

Baca juga:  Satu Data untuk Kualitas Indonesia

Modal penyertaan memiliki makna substantif, bahwa modal tersebut dari sejak dikucurkan hingga sekarang masih tercatat sebagai kekayaan daerah yang dipisahkan (pengelolaannya). Pemerintah Daerah sebagai pemberi modal penyertaan mempunyai hak kepemilikan atas keseluruhan atau sebagian dari entitas yang menerima kucuran modal penyertaan. Selain dengan melihat catatan apakah modal yang diberikan kepada LPD masih tercatat sebagai aset daerah, konfirmasi terhadap kewajaran nama modal tersebut juga bisa dilakukan dengan cara melihat pembagian laba tahunan masing-masing LPD. Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2017 Bab XIII tentang Pembagian Keuntungan LPD Pasal 23 Ayat 1 hanya mengalokasikan laba LPD ke desa adat. Karena hanya desa adat yang merupakan pemilik LPD.

Pemda Provinsi Bali sebagai pemberi donasi saat pendirian masing-masing LPD di Bali, tidak ikut memperoleh pembagian laba karena memang secara hukum tidak menjadi pemilik LPD. Berdasarkan kedua kondisi tersebut di atas, jelas secara de facto dan de yure sebutan modal donasi pada permodalan LPD, tidak wajar disepadankan dengan modal penyertaan. Karena itu, sebetulnya tidak ada kekayaan negara dalam permodalan LPD Bali.

Baca juga:  Bali Antara Industri dan Eksploitasi

Bagi seluruh pengurus LPD Bali, kondisi ini hendaknya dijadikan sebagai bahan literasi dalam memberi nama akun-akun yang ada pada seluruh komponen laporan keuangannya, agar tidak menimbulkan pengertian yang bias bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Selain mengenai nama modal donasi yang disebut sebagai modal penyertaan, di beberapa LPD, ada juga yang menyebut akun penempatan dananya pada LPD lain sebagai akun “Antar Bank Aktiva”.

Secara de yure jelas penyebutan ini salah, karena LPD bukanlah bank sebagai mana yang dimaksud dalam UU RI No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Peran Pemda Provinsi Bali, baik eksekutif maupun legislatif, dalam pendirian maupun pembinaan LPD dari sejak mendirikannya mulai tahun 1984, hingga pembinaannya saat ini, sangatlah luar biasa dan tidak pernah ada putusnya. Seluruh masyarakat Bali tentu sangat memahami kondisi itu. Kemuliaan peran Pemda justru terletak pada kebijakannya saat pendirian LPD, walaupun modal awal LPD seluruhnya (saat itu berkisar antara Rp 2,5 hingga 15 juta) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemberiannya kepada LPD dalam bentuk donasi, agar LPD tersebut sepenuhnya menjadi milik Desa Adat yang saat itu disebut sebagai Desa Pekraman.

Baca juga:  Nusa Dua, Mercusuar Pariwisata RI

Sebagai sebuah lembaga keuangan mikro (LKM), sebagaimana juga LKM yang lain, LPD saat ini sedang mendapat tantangan sebagai dampak dari kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kita semua berharap, semoga pemikiran yang baik datang dari segala arah, agar LPD lebih baik lagi ke depan dalam menjalankan fungsi ekonomi-sosial-religiusnya, yang oleh para ahli dunia disebut sebagai hybrid organization atau social enterprise.

Penulis, Guru Besar FEB Unud, Akuntan Publik dan Pengawas LPD Desa Adat Tegaltamu-Batubulan

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Siapa yang bertanggung jawab terhadap simpanan / deposito nasabah LPD SANGEH yang sampai saat ini belum dikembalikan ke para nasabahnya apakah pengurus atau desa adat pekraman, jangan baru untung semua ikut menikmati begitu bermasalah semuanya mau cuci tangan, kami sebagai nasabah tentunya merasa dirugikan oleh pihak LPD SANGEH dan pemiliknya.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *