DENPASAR, BALIPOST.com – Di penghujung tahun 2021, musim hujan dan potensi dampak fenomena La Nina 2021-2022 menuntut kesiapsiagaan kita semua. Bencana hidrometeorologi yang terjadi di berbagai titik di tanah air menjadi tantangan kita bersama. Apalagi, hingga 16 November 2021, Indonesia telah dilanda 2.431 kali bencana, 98 persen diantaranya merupakan bencana hidrometeorologi.
Dalam sambutannya yang dibacakan Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan Bencana, Kemenko PMK Letjen (Purn) Sudirman, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, mengatakan berada di daerah cincin api (ring of fire) menyebabkan tingginya frekuensi bencana di Indonesia. Hingga 16 November 2021 telah terjadi 2.431 kali bencana, dan 98 persen diantaranya merupakan bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh bencana banjir, puting beliung, tanah longsor dan lainnya.
Dikatakan, frekuensi bencana hidrometeorologi pada tahun 2020 sampai mencapai 4.624 kejadian, meningkat hampir 8 kali lipat dibandingkan kejadian pada tahun 2005. Kenaikan tren kejadian bencana di Indonesia yang disebabkan peningkatan jumlah hujan ekstrem tersebut dapat dikaitkan juga sebagai dampak perubahan iklim.
Ancaman hidrometeorologi sebetulnya tidak harus menjadi bencana. Untuk memutus lingkaran kejadian bencana yang sering terjadi berulang membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko bencana hidrometeorologis dalam semua dimensinya. Baik dari dimensi pengurangan paparan terhadap ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas masyarakat terhadap bahaya.
Lebih lanjut dikatakan, lesson learn yang diperoleh dari kejadian bencana hidrometeorologi dan upaya penanggulangannya pada tahun 2020, antara lain yaitu curah hujan mengalami peningkatan pada November 2021 sampai Januari 2022, yaitu 20-70 persen di atas normalnya. Terutama di wilayah Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, hingga NTT, Kalimantan bagian Selatan dan Sulawesi bagian Selatan.
Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi pada masyarakat agar lebih mengenal lingkungan dan potensi bencana dilingkungan tempat tinggalnya. Sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana hidrometeorologi yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Penyusunan rencana kontigensi di provinsi-provinsi yang diperkirakan akan mengalami dampak La Nina diminta agar mengalokasikan anggaran adaptasi dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim, serta peningkatan daya dukung lingkungan. Penguatan koordinasi pentahelix dengan melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, media massa, dan dunia usaha terkait bencana hidrometeorologi melalui update informasi cuaca, potensi cuaca ekstrem, dan potensi bencana hidrometeorologi di wilayah bencana.
“Penanggulangan bencana hidrometeorologi harus menjadi fokus perhatian bersama, tidak hanya saat darurat dan pasca bencana, namun juga pada tahap pra bencana. Langkah-langkah antisipasi bencana hidrometeorologi sangat penting untuk dilakukan oleh setiap level. Mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, kecamatan/desa/kelurahan hingga ke level masyarakat yang paling bawah,” tegasnya dalam Ambassador Talk “Pendekatan Belanda untuk Pengelolaan Risiko Bencana Banjir dan Kebijakan Manajemen Keariran” yang mengundang pembicara utama Duta Besar Belanda untuk Indonesia, H.E. Lambertus Christiaan Grijns, Selasa (23/11).
Di level provinsi, yaitu memastikan seluruh Bupati/Wali Kota melakukan kesiapsiagaan di daerah masing-masing, memastikan seluruh OPD Provinsi sudah mempersiapkan sumber daya dalam mendukung kesiapsiagaan, melakukan simulasi Table Top Exercise (TTX) sesuai rencana kontijensi yang sudah disiapkan, dan menghimpun relewan dan dukungan lainnya untuk kesiapsiagaan level provinsi.
Di level kabupaten/kota, melakukan sosialisasi daerah rawan bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung, dan cuaca ekstrem; memastikan tempat evakuasi akhir siap; memastikan seluruh camat/lurah/kepala desa melakukan upaya kesiapsiagaan di daerah masing-masing; memastikan seluruh OPD kabupaten/kota sudah mempersiapkan sumberdaya dalam mendukung kesiapsiagaan; dan melakukan aktivasi Pusdalops di BPBD.
Di level kecamatan/desa/kelurahan, yaitu memastikan tempat evakuasi sementara dapat digunakan pada setiap daerah rawan bencana; memastikan masyarakat yang terpapar mengetahui yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan protokol kesehatan; melakukan sosialisasi informasi kepada masyarakat dengan bijak; memperkuat desa/kelurahan menjadi desa/kelurahan tangguh bencana; dan melakukan simulasi mandiri sesuai rencana evakuasi yang sudah dibuat.
Di level masyarakat, yaitu memastikan masyarakat tangguh (mendapatkan akses informasi, daya antisipasi, daya proteksi, dan daya adaptasi); informasi dipastikan sampai pada masyarakat; masyarakat memahami informasi tersebut; masyarakat merespon informasi dengan evakuasi ke tempat yang aman; dan penguatan manajemen bencana di rumah, sekolah, tempat ibadah, pelayanan kesehata/puskesmas, kantor, pasar, dan fasilitas umum daerah. (Winatha/balipost)