Oleh Ngurah Weda Sahadewa
Keberadaan suatu masyarakat dapat dilihat dari suatu bentuk realitas yang dijalaninya. Keberadaan tersebut
dapat berupa suatu tradisi yang dijalankan secara turun temurun ataupun adanya suatu bentuk kegiatan tertentu yang dijalani secara beraneka ragam namun dengan satu tujuan tertentu.
Salah satu tujuan tertentu itu adalah kespiritualitasan. Spiritualitas adalah sebuah makna yang patut untuk dicermati. Pencermatan atas spiritualitas dapat menjadikan diri manusia diajak untuk mengerti apa dan bagaimana spiritualitas itu serta mengapa.
Apa yang disebut dengan spiritualitas tidaklah terlepas dari perkataan spiritual yang diartikan sebagai bentuk kegiatan yang menjadikan diri manusia itu dapat semakin berkemandirian dalam
berkomunikasi dengan Tuhan. Ini berarti bahwa
kemandirian dimaknai dengan jelas dan pasti
bahwa setiap orang memiliki suatu potensi tertentu dalam mengomunikasikan dirinya dengan Tuhan.
Namun, perlu disadari sedari permulaannya bahwa ketika menyatakan diri berkomunikasi dengan Tuhan lantas tidak serta merta seperti komunikasi yang dilakukan antarmanusia. Kemudian tentang bagaimana spiritualitas tidaklah terlepas dari kekuatan ataupun power dalam diri manusia untuk mampu dan bisa mendekatkan dirinya dengan Yang Maha Kuasa.
Kekuasaan yang Maha Kuasa jelas dan pasti tidak
dapat disepadanhkan dengan kekuasaan manusia
sekalipun memegang tampuk kekuasaan politik
yang paling berkuasa sekalipun. Kemudian pula
tidak dapat dipungkiri jika kemahakuasaan Tuhan dapat diberikan sebuah makna baru jika memang manusia memiliki kemampuan untuk itu.
Akan tetapi, kemampuan itupun mestinya sudah
menjadi sebuah kesadaran tersendiri sehubungan
dengan Kemahakuasaan Tuhan sehingga tidak
menjadikan dirinya terjebak di dalam ke-akuannya. Oleh karena itu tentang bagaimana spiritualitas itu dapat dijadikan sebagai babak final terkait dengan cara pendekatan yang dilakukan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya, ketika dipertanyakan dengan mengapa, maka spiritualitas muncul sebagai sebuah argumentasi logis. Yaitu, sebuah kenyataan dalam hidup manusia yang tidak dapat berdiri sendiri sekalipun mandiri.
Ini berarti kemandirian manusia adalah kemandirian yang bergotong royong termasuk memandirikan dirinya sendiri dengan bantuan Tuhan. Kemudian dapat disimpulkan sementara bahwa apa, bagaimana, dan mengapa pencermatan atas spiritualitas itu dapat dilanjutkan dengan analisis sebagai berikut.
Pertama, tidak menjadikan kehidupan sebagai sesuatu yang asing bagi diri manusia itu berarti bahwa manusia merupakan bagian terpenting dalam spiritualitas itu sendiri. Kedua, bahwa Tuhan memang
tidak kalah penting dalam berspiritual akan tetapi tidaklah berarti jika kemanusiaan tidak digagas dengan semakin sempurna dengan bantuan Tuhan.
Ini berarti kedua analisis itu dijadikan sebagai patokan logis untuk menunjuk kepada perilaku kemanusiaan terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Ketika manusia disibukkan dengan pencarian penghasilan dalam hidup maka disitulah merupakan benih spiritualitas yang nyata dibandingkan dengan tenggelam dalam kepentingan spiritual yang dogmatis.
Namun, di sisi yang berbeda maka kesibukan apapun juga termasuk dalam ketenggelaman kepentingan spiritual yang dogmatis itu akan tidak mencapai titik spiritual apabila kesemuanya terjebak dalam konteks dan aktualitas yang disebut dengan keduniawian. Keduniawian tidaklah sama dengan hidup dalam dunia.
Pada saat yang sama seorang pejabat ataupun
seorang buruh bukanlah apa-apa di mata Tuhan.
Ini adalah sebuah statement yang juga bisa kabur
maknanya manakala manusia tidak dapat membedakan spiritualitas yang ada di luar maupun
yang ada di dalam diri manusia karena masih
terjebak dalam lumpur material.
Pembersihannya terletak dalam kemampuan untuk mengenali apa, bagaimana, dan mengapa seorang pejabat menjadi pejabat dan seorang buruh menjadi buruh. Kemudian, menjadi apa-apa di mata Tuhan ketika masing-masing dapat membersihkan dirinya
sendiri dari lumpur material ke dalam ketulusan
pengabdiannya atas dasar kemampuannya melihat bahwa dirinya bukanlah apa-apa di mata Tuhan ketika Tuhan sendiri tidak melihat diri mereka apakah pejabat ataukah buruh.
Lalu, apakah kemudian spiritualitas itu bermakna
sebagai bentuk ketulusan dari dalam diri manusia untuk mengabdi atas nama ketuhaan? Tidak
juga, sekarang perkaranya adalah bagaimana dan
mengapa orang ataupun manusia mampu untuk
menjadikan semua yang dikenalinya itu adalah
sama di mata Tuhan bahkan sekalipun dengan
yang berbeda agama. Inilah yang disebut sebagai
makna spiritualitas.
Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM