Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Pada sebuah keluarga dalam rumah besar, di sana ada anak-anak dengan usia masing-masing, hobi berlainan dan barangkali punya keunikan personal pula. Mungkin pula, dalam keluarga itu ada yang suka bekerja sendirian, tapi ada yang suka keroyokan biar kerjanya jadi ringan dan cepat selesai.

Atau lagi ada yang anak-anaknya yang suka mengolok-olok bahkan ada yang penginnya bikin gaduh dan rebut dan tak jarang berkelahi. Kemungkinan, itu bisa menjadi gambaran mikro negeri kita yang ditopang dengan kekuatan kebinekaannya.

Banyak suku, agama, pendidikan, bahasa, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Tak pelak, negeri ini pun acap dibikin pusing dengan perilaku anak-anaknya, warganya, khususnya orang-orang yang punya hobi tak pernah bersikap hormat kepada petinggi maupun orang lain di luar rumahnya, selain warnanya, menghina, merendahkan dana priori terhadap apa yang menjadi keputusan negara.

Ragam kebijakan maupun apa yang dilakukan dan perbuat pemerintah selalu salah di matanya. Mereka ini merasa paling benar, terbaik dan paling berjasa atas republik ini. Mereka ini mungkin sengaja lupa atas sejarah yang mencatat kerjasama dan gotong royong atas semua elemen bangsa terhadap tegak berdirinya negara besar yang bernama Indonesia.

Baca juga:  Urgensi Kereta Api Lingkar Bali

Maka kemudian, apa yang mau dicari oleh mereka, bahkan mereka ini secara ekonomi dan intelektual berkecukupan, tapi sayang secara moral dan tanggung jawab sosialnya sedang kusut bahkan kurus hati dan jiwanya. Kini, kita ngelus dada dan miris menyaksikan itu semua.

Rasanya tak ada penting-pentingnya menghabiskan waktu, pikiran dan energi kita hanya untuk bersilang hina, menjelekkan, serang atau cakap dan rajin menebar narasi gaduh lainnya di sosial media. Mau ke mana kita, quo vadis: kerukunan, gotong royong, merdeka berkehidupan atau sebaliknya? Itu semua berpulang pada dada kita masing-masing.

Akahkah kita merasa cukup dewasa sebagai penjaga negeri ini, jika kemudian hanya kekacauan, kegetiran dan keresahan yang dibulatkan. Maka kemudian, penting kita hadirkan dan praktikkan perilaku panakawan yang riang, jenaka dan penuh damai, ramah dan toleran bersama rasa saling asah, asih dan asuh.

Begitu pula hari ini kita masih banyak butuh punakawan yang memanggul nilai-nilai Suwardi
Suryaningrat, “ing ngarso sung tulodho, ing madya
mangun karso dan tutwuri handayani,” (di depan memberi contoh, di tengah memberi inspirasi, motivasi dan spirit dan di belakang memberi dorongan dan kepercayaan diri).

Baca juga:  “Cash is King”, Kunci Menghadapi Resesi Ekonomi?

Juga punakawan yang menjunjung ajaran falsafah Pangeran Sambernyowo dalam Tri Dharma, yakni rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi
dan mulat sarira hangrasa wani (merasa ikut memiliki, wajib turut serta membela kebenaran dan berani mawas diri). Merujuk data Kementerian Kominfo merilis pengguna internet di Indonesia pada Januari 2021 melonjak menjadi 202,6 juta.

Itu bertambah 27 juta atau naik 16% jika dibandingkan dengan posisi yang sama pada tahun 2020. Pengguna media sosial merujuk penelitian We Are Social 2020 menyebutkan angka 170 juta pengguna, naik 10 juta jika dibandingkan dengan awal 2020.

Jumlah ini setara dengan 61,8% dari jumlah penduduk. Sebanyak 99,1 persen akses lewat smartphone/HP dengan kisaran usia 25-34 tahun.
Saat ini, hoaks masih menjadi isu utama di berbagai media, lebih karena misinformasi agar jadi pebincangan masyarakat, dis-informasi untuk mengeruk keuntungan dari klik iklan, profit, mengacau dan iseng dan mal-informasi, mereka ini pembuatnya orang cari keuntungan, orang iseng dan kelompok bayaran.

Baca juga:  Pendulum Kebudayaan Bali

Hoaks yang sering diterima 92 persen bersumber dari sosial media. Sejumlah 91 persennya sosial politik (tentang pilkada, soal pemerintah), 88 persen SARA dan 53 persen terkait kesehatan. Maka kemudian di sini perlu memposting yang penting, bukan yang penting posting.

Di sinilah penting kita bangun diri kita menjadi punakawan baik pada aras nyata maupun di ujung digital, yang tak pernah lelah menebarkan aneka saran, hiburan, wejangan, nasihat dan edukasi menuju rukun agawe santosa dengan narasi yang menyejukkan, menenteramkan. Mengayomi dan melindungi.

Bukan gertakan, ancaman maupun teror. Seperti halnya yang harus dilakukan oleh para duta anti narkoba, duta anti korupsi, duta prokes, duta keselamatan lalulintas, duta desa, duta bahasa dan duta budaya, dan lainnya.

Sudah saatnya kita bergandeng tangan, urun angan dan turun tangan menyelesaikan persoalan negeri ini dengan melipat, menjauhkan kita dari sindrom kepiting, yaitu perilaku yang saling jegal dan menjatuhkan maupun menjelekkan.

Penulis, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *