Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Sekitar tahun 1850-an, di Desa Sukawati, Gianyar, dikenal seorang penari joged yang bernama Ni Made Wati. Sehari-hari, anak gadis seorang petani ini, dikenal lugu dan pemalu.

Namun begitu menari, kecantikannya yang eksotik memancar yang membuat para penonton terpesona. Wati yang rumahnya hanya beberapa langkah dari keraton Kerajaan Sukawati, adalah penari joged kesayangan keluarga puri yang sering didaulat tampil untuk menghibur tamu-tamu agung kerajaan.

Raja Gianyar, Dewa Manggis VII yang datang beranjangsana sempat membuncah asmaranya ketika menyaksikan gemulai lenggok tarian Made Wati. Penari joged Sukawati ini pun diboyong ke Puri Gianyar, dijadikan penari istana dan dihadiahi
status terhormat dengan gelar Jero Nyeri.

Tari joged adalah kesenian bergengsi yang disuguhkan saat acara-acara penting pada era kerajaan di Pulau Bali. Pementasan tarian ini adalah untuk menghibur segenap hadirin dalam suatu perhelatan nan meriah.

Sudah jadi tradisi saat itu, setiap kerajaan mengayomi para pegiat seni, termasuk dalam hal ini para penari joged. Penari-penari yang terdiri dari perempuan muda
tersebut dipilih dan dilatih menari di lingkungan keraton.

Baca juga:  Pelajaran dari Polusi Jakarta

Para penari banyak yang tetap aktif berkesenian menjadi pelatih tari joged di pelosok desa. Berkembanglah kemudian puspa warna varian tari joged.

Pada masa itu, secara sporadis menguak pementasan tari joged dengan ciri khasnya masing-masing. Joged Gudegan, Leko, Adar, Tongkohan, Gandrung adalah beberapa tari joged yang membiak di sekitar wilayah kerajaan-kerajaan Bali.

Ketika mantan penari joged istana telah menebar keterampilannya ke tengah masyarakat luas, pihak penguasa masih memingit tari joged yang hanya ditampilkan untuk penonton elit tertentu saja. Kesaksian seorang mantri kesehatan Belanda, Dr. Yacobs, yang mengunjungi Puri Mengwi pada tahun 1881, menuturkan betapa bangganya raja menampilkan suguhan tari joged yang dibawakan para wanita ayu berambut panjang yang juga ditugaskan melayani para tamu dengan tata krama yang santun penuh keramahan.

Padahal, sementara itu, dalam kurun yang sama, tari joged yang telah melenggang lepas di tengah masyarakat menunjukkan kehadirannya dengan gelagat “vulgar” seperti yang disaksikan peneliti Belanda, Van Eck (1883), yang merasa amat geli
menyaksikan para penari joged sehabis menari dipangku oleh pengibingnya, dielus dan diciumi beramai-ramai oleh beberapa pria muda-tua.

Baca juga:  Dilema Belajar di Sekolah Era Adaptasi Kehidupan Baru

Setelah kemerdekaan RI, masyarakat Bali lebih mengenal tari joged dalam genrenya sebagai apa yang diakrabi hingga kini dengan sebutan Joged Bumbung. Keriuhan pementasan tari joged kemudian merebak gaduh sejak tahun 2003.

Masyarakat Bali dihebohkan oleh rekaman audio-visual komersial “Joged Goyang Maut” yang membeber sebuah pementasan tari joged yang direkam di sebuah desa di Kabupaten Buleleng. Kendati dengan mutu pengambilan gambar yang amat amatiran, tapi detail gerak penarinya melakukan “goyang maut”, yaitu laku gerak-gerak persetubuhan, dipamer syur.

Ekspose terhadap peredaran VCD tari joged porno tersebut di media massa ketika itu mengundang perhatian dan keprihatinan banyak kalangan, menjadi perbincangan seru di tengah masyarakat. Belakangan, pagelaran Tari Joged Bumbung semakin liar, terpantau dari unggahan media digital, hasil rekaman nyata di lapangan.

Buka kanal YouTube, ketik: joged, video Tari Joged Bumbung akan tersaji bergelinjang. Arena lokasi pementasannya hampir menyeruak dari seluruh Bali.

Baca juga:  Joged Bumbung Jaruh Kembali Marak, Perlu Payung Hukum Menindak Tegas Pelaku

Yang kompak pada sebagian besar para penari joged itu adalah keblabasannya bergoyang cabulaksi dengan kain tersibak pamer paha gamblang. Ngibing sebagai bentuk partisipasi penonton—umumnya laki-laki—dalam tari Tari Joged Bumbung yang di masa lalu sarat dengan pamer erotisme romantis dalam tatanan estika gerak, kini jarang dijumpai lagi.

Pemda Bali pun kembali unjuk peduli. Gubernur Bali Wayan Koster, melalui Surat Edaran Nomor 6669 Tahun 2021, Jumat 1 Oktober 2021, menyampaikan enam butir penegasan dan kebijaksanaan yang pada inti spiritnya agar semua pihak berperan aktif menjaga dan menghormati keberadaan Tari Joged Bumbung.

Bagaimana efek dari kasih perhatian pemerintah ini, kita harapkan berdampak positif. Lebih-lebih bila mengingat tari ini–bersama delapan tari Bali lainnya–telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO (PBB) pada 2 Desember 2015. Semoga Tari Joged Bumbung segera “insaf” dan “tobat”.

Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN