Oleh Ketut Swabawa
Pariwisata atau lumrah dikenal di industri dengan istilah hospitality merupakan bagian dari aktivitas kesenangan dan kesegaran (leisure and refreshing). Selain faktor eksternal yang bisa menghancurkannya (bencana alam, kondisi politik dan lainnya), faktor internal terkadang tidak disadari dapat menjadi
suatu penghambat bahkan communal act menurunnya kualitas kepariwisataan.
Di antaranya akibat tata kelola dan produk yang buruk, pelayanan yang tidak konsisten bahkan akibat ulah persaingan antar pelaku usaha itu sendiri. Pandemi Covid-19 merupakan aspek eksternal yang melumpuhkan industri pariwisata global selama 2 tahun ini. Berbeda dengan kejadian erupsi gunung berapi, tsunami, gempa bumi dan sejenisnya yang bersifat sektoral dan tahapan recovery bisa diprediksi walaupun tidak sempurna 100%.
Pandemi ini terjadi di seluruh dunia dan merubah tatanan kehidupan umat semesta secara global dan drastis. Namun di balik semua itu, bermunculan ide-ide baru yang inovatif baik dari kajian ilmiah ilmu pengetahuan seperti online system dan pemanfaatan tekonologi, dan juga dari sisi kreatifitas yang lahir dari cognitive and analytical people skills seperti wisata outdoor, wellness tourism, dan sebagainya.
Terlepas dari dimensi produk dan sistem pemasarannya, industri pariwisata sangat bergantung pada peran sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Tiga pilar utama dalam bisnis pariwisata menyangkut : 1) penyediaan produk dan layanan yang berkualitas, 2) pencapaian target pendapatan dengan profit yang signifikan, 3) sistem tata kelola yang terintegerasi, membutuhkan sistem penanganan dan peningkatan kualitas SDM yang terstruktur dan terukur.
Lesunya bisnis pariwisata otomatis mengempaskan aspek fundamental bisnis layanan yakni SDM menjadi
kurang terkelola dengan baik. Akibat pengendalian biaya pada pos pengupahan dan benefit lainnya menyebabkan jadwal/jam kerja karyawan dibatasi hingga dirumahkan sementara waktu.
Bahkan bagi tenaga kerja kontrak otomatis tidak
diperpanjang masa kontraknya ketika berakhir pada masa pandemi ini. Bayangkan, dua tahun idle time ini merupakan pertaruhan bagi industri pariwisata dalam memastikan SDM yang berkualitas di tengah dilema transformasi pekerjaan yang telah dilakukan oleh para tenaga kerja di luar tempat bekerjanya seperti sebagai petani, peternak, pedagang online, buruh bangunan, ojek online atau lainnya.
Tantangan lainnya, sekolah/kampus/lembaga pelatihan tetap berproduksi dalam mencetak SDM sebagaimana proses dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk merencanakan karir/pekerjaan bagi putra-putrinya kelak. Jadi bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal tersebut ? Siapa yang bisa menjamin bahwa pariwisata (segera) akan pulih kembali sehingga perusahaan wajib menyiapkan kembali SDM nya (tentu berikut biaya yang dibutuhkan untuk itu?).
Jawabannya telah kita kenal sejak awal pandemi ini; agility and resilience! Sungguh bisa menjadi risiko yang fatal seandainya aspek SDM ini tidak tersentuh sebagaimana mestinya akibat minimnya aktivitas yang ada di industri.
Pengusaha tentunya memiliki kendala sangat besar ketika dihadapkan pada kondisi biaya yang sangat besar sementara dana telah semakin habis untuk pemeliharaan dan juga biaya rutin lainnya. Di satu sisi, perusahaan di bidang pariwisata juga “ditawarkan” oleh perusahaan bidang IT dengan software dan sarana penunjang lainnya untuk produk-produk yang contactless dan speedy response dalam menjawab implementasi CHSE.
Selain manfaat tersebut, biaya operasional bisa lebih rendah karena sistem robotik bisa lebih akurat dan tepat waktu sehingga dapat dipertimbangkan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja. Dengan “melatih diri secara mandiri” selama idle time ini serta mengisi diri dengan hal-hal yang menjadi trend secara terus menerus, SDM Pariwisata dapat memiliki daya saing tersendiri.
Berdagang dan bertani di masa idle time ini dapat mengarahkan tenaga kerja menjadi wirausaha pemula
dan dapat dibina terus oleh pemerintah maupun CSR perusahaan besar melalui program UMKM dan sejenisnya. Pengetahuan dan keterampilan
pariwisata semakin berkembang dan tenaga kerja
yang baik dan loyal memang sebaiknya memiliki
pengetahuan entrepreneurship dan salesmanship
agar dapat mendukung eksistensi perusahaan di
masa sulit dan minimnya level bisnis.
Selamat datang di dunia “hospitality masa depan”. Dimana persaingan tenaga kerja bukan hanya pada pengalaman dan jabatan yang telah dicapai. Namun
terletak pada seberapa mampu beradaptasi dengan
paradigma baru kepariwisataan dan juga penyerapan multi-skilling sesuai pembaharuan produk dan
layanan pada era baru tatanan kehidupan dunia.
Penulis Praktisi Pariwisata