Sejumlah warga menyusuri sambil membersihkan sampah plastik di kawasan mangrove Batu Lumbang, Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menjaga keberlangsungan hutan mangrove sebagai upaya mengatasi perubahan iklim dan degradasi lingkungan, tak cukup hanya reboisasi dan rehabilitasi. Sebab, keberadaan mangrove terancam dengan adanya sampah plastik dan alih fungsi lahan.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Teja, mengungkapkan secara umum kondisi hutan mangrove di Bali yang luas totalnya mencapai 2.215,5 hektare sangat baik dari skenario konservasi. Namun, diakui, sampah yang masuk ke hutan mangrove masih sering terjadi.

Banyak upaya telah dilakukan untuk mencegah agar sampah tidak masuk, seperti pemasangan jaring sampah yang dilaksanakan oleh PUPR Kota Denpasar. Meskipun demikian, pihaknya meminta agar seluruh elemen masyarakat ikut menjaga keasrian kawasan hutan mangrove agar terbebas dari sampah yang dapat mengganggu kelangsungan hidup hutan mangrove tersebut.

Senada, Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, Dr. I Made Sudarma juga menyebut bahwa keberadaan mangrove sejak dulu terancam dengan keberadaan sampah. “Yang paling menjadikan hutan mangrove terancam adalah akibat dari polusi yang terjadi, seperti sampah, yang menyebabkan akar tanaman mangrove tertutup dan pertumbuhannya terganggu,” ungkapnya.

Baca juga:  Gubernur Koster Raih Penghargaan Khusus Pembangunan Daerah

Total luas hutan mangrove di Bali berdasarkan catatannya adalah 2.144,8 hektare tersebar di Denpasar, Badung, Jembrana, Buleleng, Klungkung, dan Tabanan. Di wilayah itu pun, mangrove tidak luput dari ancaman, seperti perambahan mangrove, illegal loging, sampah plastik, dan perilaku manusia yang bersentuhan langsung dengan mangrove.

Ia juga menyoroti pentingnya moratorium alih fungsi lahan mangrove sehingga kelestariannya bisa terjaga. Disebutkannya, reboisasi mangrove yang menggunakan dana pemerintah pusat yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), sudah berlangsung sejak 2017. Selama lima tahun terakhir ini, ia melihat ada hasil yang diperoleh.

Namun, dalam upaya mereboisasi dan merehabilitasi mangrove, perlu dipertimbangkan kondisi lahan karena tanaman ini membutuhkan ekosistem spesifik. Baik dari pasokan nutrien yang dialirkan lewat aliran sungai dari daratan maupun salinitas air laut.

 

Baca juga:  Atasi Banjir di Badung, Ini Program yang Dicanangkan

“Ini juga menjadikan kita tidak bisa melakukan ekspansi ataupun perluasan dari luas areal mangrove. Kalau memang ekosistemnya tidak cocok, walaupun memang mangrove ini mempunyai fungsi ekologis baik seperti sebagai penyangga abrasi, pemecahan ikan, penyerap karbondioksida, dan sebagainya tapi tidak bisa sembarangan juga menanam pohon mangrove, karena mangrove hanya bisa hidup pada geografis yang memenuhi persyaratan tumbuh,” ujarnya.

Jika ingin tetap mempertahankan luasan mangrove, saran Sudarma, rehabilitasi tanaman yang rusak dan reboisasi lahan potensial untuk ditanami mangrove tidak cukup. Harus pula didukung dengan pencegahan alih fungsi lahan mangrove. “Kondisi konkret dapat dilihat dari perluasan Pelabuhan Benoa. Tanaman mangrove yang sudah tumbuh berpuluh-puluh tahun mati dalam sekejap karena kegiatan reklamasi,” sebut Sudarma belum lama ini.

Apalagi, separuh hutan mangrove berlokasi di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai berada di wilayah Denpasar-Badung. Kedua wilayah itu merupakan daerah strategis untuk pengembangan berbagai aktivitas ekonomi.

Baca juga:  Tanggul Tergerus Longsor, Warga Banjar Patas Khawatir Kesulitan Air Bersih

Dipaparkannya, Tahura Ngurah Rai dengan luas 1.080 hektare berdekatan dengan Pelabuhan Benoa, Bandara Ngurah Rai, dan pusat aktivitas ekonomi. Posisi ini menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi keberlanjutan hutan mangrove. “Jika ingin menjadikan Bali, World Mangrove Center, maka tantangan dan ancaman itu harus diproteksi,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Simbar Segara Ketut Darsana menuturkan keberadaan hutan mangrove sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Sebagai warga yang tinggal di daerah pesisir dan bersentuhan langsung dengan kehidupan laut, pihaknya ikut memberi edukasi kepada kelompok yang berkunjung serta edukasi pemanfaatan mangrove bagi para istri nelayan.

Selain itu, bersama anggota KUB, ia juga membuat bibit mangrove sebagai upaya reboisasi. Meskipun bersentuhan langsung dengan mangrove, aktivitas ekonomi yang dilakukan para nelayan, seperti mencari ikan dan mencari kepiting, dilakukan dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan. (Winatha/Citta Maya/balipost)

BAGIKAN