Oleh Viraguna Bagoes Oka
Hampir setiap hari terus mengemuka berbagai kekhawatiran dan harapan di masyarakat dalam beberapa minggu terakhir ini tentang isu kapan pariwisata Bali pulih? Kapan tourism border banned dibuka pemerintah? Bagaimana dengan WFB dan bagaimana nasib industri pariwisata Bali pasca pandemi, dan seterusnya?
Pertanyaan-pertanyaan penuh harap ini sangatlah wajar dan mendesak bagi masyarakat Indonesia khususnya Bali mengingat kehidupan masyarakat Bali sejak 30 tahun terakhir hampir 98 persen sangat tergantung kepada industri pariwisatanya. Masyarakat Bali hampir seluruh lapangan kehidupannya sangat tergantung dan terpukul telak dengan kolapsnya industri pariwisata Bali. Mulai dari hotel, resort, vila, travel, pendidikan, bisnis rekreasi, lembaga keuangan (bank/non bank), restoran, hingga usaha kecil dari kota hingga di pelosok desa terkena dampak langsung yang sangat dahsyat akibat tumbangnya industri pariwisata Bali tersebut.
Di tengah kegalauan dan keputusasaan krama Bali, namun saat ini masih banyak optimisme dan antusiasme di kalangan masyarakat, pemimpin, politisi hingga pengusaha kecil/besar yang tetap semangat dan bertekat kuat mendorong pemerintah untuk segera membuka pintu pariwisata domestik dan mancanegara sesegera mungkin sebagai solusi satu-satunyanyya untuk bisa mendorong pulihnya pariwisata dan perekonomi/dunia usaha Bali dengan semangat Bali Bangkit.
Kilas Balik
Pemerintah dan masyarakat Bali dalam 3 dekade terakhir (dunia pariwisata dan dunia usaha Bali) telah mengabaikan tiga momentum dalam memanfaatkan kesempatan dan peluang emas pada masa lampau sejak beralihnya era masyarakat pertanian/agraris sebagai pilar utama ekonomi Bali. Setidaknya pada saat Bali surplus pangan hingga di penghujung era tahun 1980-an.
Peluang emas bagi dunia usaha dan perekonomian Bali siklus 10 tahunan yang terabaikan adalah pada : Era 1988-1998, Era 1999-2008 dan Era 2009-2018.
Pada Era 1988-1998, dimulainya era pasar bebas keuangan perbankan nasional adalah momentum pertama terbaik bagi perekonomian Bali saat itu guna meningkatkan pertumbuhan ekonominya pascamasa transisi Bali menuju era pariwisata budaya yang berkualitas. Sejak dikeluarkannya Pakto (Paket Oktober 1988) setiap orang/kelompok usaha diijinkan untuk membuka bank/lembaga keuangan sehingga terbukanya dunia usaha termasuk Bali.
Pengusaha dan tokoh Bali berbondong-bondong membuka bank Umum/BPR saat itu, antara lain Bank Aken, Bank Sri Partha, Bank Dagang Bali, Bank Perniagaan, Bank Sinar Harapan Bali hingga Balido Group. Sayangnya peluang yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Para pelaku usaha keuangan/perbankan Bali tidak mengindahkan momentum ini.
Para pemilik bank lokal Bali tidak taat azas dan tidak mengindahkan nilai-nilai/prinsip ke hati-hatian, transparansi, akuntabiltas, profesionalisme dan kejujuran karena mengelola dana masyarakat yamg wajib menjalankan banknya secara sehat sabagai lembaga kepercayaan. Akibatnya peluang emas untuk menghidupkan ekonomi Bali melalui bisnis bank tidak dikelola secara kredibel dan terpercaya maka seluruh bank milik putra-putra dan tokoh terbaik Bali harus direlakan untuk ditutup. Ini karena dianggap sebagai lembaga kepercayaan masyarakat Bali yang harus dilikuidasi (bank gagal).
Era 1998- 2008, adalah era momentum kedua yang sangat vital bagi Bali saat itu dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan emas untuk mewujudkan kembali Pariwisata Budaya Bali yang berkualitas. Sebagaimana diketahui, pascakrisis moneter 1998 yang terjadi di Indonesia di era ini serta peristiwa kerusuhan sosial di beberapa kota besar yang melanda Indonesia saat itu, telah menyebabkan terjadinya hijrah besar-besaran komunitas etnis China dari luar Bali dan ingin hidup tenang telah menyerbu Bali yang dikenal damai dan masyarakatnya yang sangat welcome.
Mereka berbondong bondong membawa/ memindahkan sebagian/seluruh modalnya untuk berinvestasi di Bali serta mengadu keberuntungan di bidang perdagangan dan pariwisata. Kesempatan dan peluang emas untuk membangun pariwisata Budaya Bali kembali terbuka lebar saat itu, dengan masuknya modal/investasi ke Bali telah membuat tanah/asset dan properti di Bali meningkat tajam (overpricing).
Namun peluang usaha yang demikian besar untuk tumbuhnya ekonomi Bali yang sangat menonjol di era ini bahkan tertinggi di atas daerah lainnya di Indonesia. Lagi-lagi peluang besar ini tidak diikuti oleh kesiapan pemerintah Bali beserta jajarannya dan masyarakat Bali tidak mampu dan gagal memanfaatkan momentum terbaik tersebut untuk mewujudkan kearifan lokal pariwisata budaya Bali yang berkualitas (Quality Tourism).
Pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha Bali menjadi tak terkendalikan tercermin dari menjamurnya pendirian fasilitas hotel, villa serta sarana pariwisata lainnya bak jamur dimusim hujan (termasuk menabrak berbagai rambu rambu tata ruang holistik Bali yang Hita) bahkan telah mengabaikan cetak biru (blue print) dalam mengawal pembangunan Bali yg ramah lingkungan berbasis pariwisata berkualitas (quality tourism) .
Selain itu, Bali telah kehilangan pamornya sebagai tujuan wisata berkualitas terbaik dunia –Bali yang aman dan bebas sampah–, antara lain karena tidak memiliki kepemimpinan tunggal, satu komando dibawah Gubernur. Bahkan kepemimpinan Bali yang diharapkan bersatu padu, ternyata telah terbelah menjadi otonomi daerah hingga ke tingkat kabupaten/kota. Walaupun Bali di era ini pertumbuhan ekonominya bisa melesat di atas 6 persen (tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional) namun kesenjangan ekonomi masyarakat Bali semakin timpang dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Indonesia.
Era 2008-2018, adalah sebagai puncak keemasan perekonomian Bali. Hal ini dapat terjadi antara lain sebagai dampak lanjutan krisis mortgage 2008 yg menimpa pasar mortgage di negara-negara Eropa dan Amerika, dimana Bali kembali menjadi sasaran utama investor Eropa dan Amerika yang berpaling untuk menanamkan modal dan investasinya di Bali akibat krisis mortgage yang terjadi di Eropa dan Amerika.
Bali di era 2008-2018 telah mengalami puncak booming terutama dunia pariwisatanya. Namun lagi-lagi sangat disayangkan kepemimpinan Bali sebagai akibat carut marut perpolitikan Indonesia saat itu serta kepemimpinan Bali yang belum solid dan masyarakat Bali yang masih bereforia dengan “zona nyamannya” dari era sebelumnya (mengingat pertumbuhan ekonomi Bali di atas 6 persen di atas tertinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia) .
Bahkan di era ini tanah dan aset Bali telah menjadi primadona dan memiliki nilai jual yang di atas kewajaran (overpriced), dan bahkan sudah menjadi alat spekulasi dalam bertransaksi yang tidak masuk akal di luar batas kewajaran. Termasuk saat itu tidak sedikit pula tanah/property Bali telah digunakan sebagai tujuan dan ajang untuk pencucian uang hasil korupsi yang sedang marak-maraknya di periode 2008-2018.
Dunia usaha dan dunia pariwisata Bali selama 3 periode siklus 10 tahunan (era pakto 88-97, krisis moneter 98-2007 dan krisis mortgage 2008-2017) tidak pernah mendapatkan pembelajaran konkrit terkait “Attitude, Skill dan knowledge” dalam antisipasi dan adaptasi atas ancaman perubahan kehidupan diluar industri pariwisata Bali seperti pertanian/ agrobisnis, kelautan yang selama ini dipandang sebelah mata.
Titik balik dunia usaha dan pariwisata Bali mulai terpukul lagi pada awal tahun 2018 saat terjadinya perang dagang antara China dan USA serta kasus Brexit Uni Eropa vs Inggris yang mengakibatkan ekonomi global mulai menurun drastis yang berdampak kepada kedatangan wisman akibat depresi ekonomi yg melanda dunia.. Tanpa dinyana bencana covid-19 yg menghantam dunia di awal 2019 menambah collapsnya ekonomi dunia secara drastis serta collapsnya ekonomi Bali yang sangat tergantung kepada industri pariwisata hingga kini.
Siapkah Bali Bangkit?
Potensi untuk Bali bangkit di tahun 2022 memang diperkirakan masih akan menghadapi hambatan dan tantangan besar mengingat beberapa kendala utama antara lain karena seluruh pengaturan kebijakan pengendalian pandemi berikut SOP (Standard Operational Procedure)-nya yang masih diatur dan ditentukan oleh pusat pemerintahan di Jakarta disamping kondisi global yang masih banyak menghadapi trauma besar akibat pandemi Covid-19 yang berdampak besar terhadap krisis dan keterpurukan ekonomi dunia, kehilangan pekerjaan/PHK, pengangguran dan untuk mendapat pekerjaan, menghasilkan uang/simpanan dan keamanan/kenyamanan traveling masih memerlukan waktu 2-3 tahun ke depan untuk menjadi normal era baru. Namun demikian bagi Bali masih ada harapan pemulihan dan Bali bangkit bisa lebih cepat sepanjang terpenuhinya 2 persyaratan utama antara lain :
Pertama, Sumber Daya Masyarakat Bali harus benar benar siap berubah yang berorientasi kepada pola pikir (mindset) dan perilaku serta budaya/etos kerja yang tangguh, memiliki jiwa petarung/eksekutor yang “outward looking business yang kredibel, kompeten dan terpercaya” berbasis “skill (keahlian), attitude dan knowlege based era” serta mampu cepat beradaptasi dengan situasi kekinian yang berbasis “IT, AI (Artificial Intelegence) dan metaverse”.
SDM Bali ke depan diharapkan juga mampu menjadi panutan/teladan yang kreatif dalam memanfaatkan peluang usaha diluar pariwisata seperti agribisnis, agriculture pola intensifikasi, perikanan dan kelautan serta wira usaha kreatif yang berorientasi ekspor atau investasi wira usaha offensif produk unggulan lokal Bali yang layak menyasar wilayah-wilayah pasar potensial di luar Bali alias “go national/go global”(seperti kuliner unggulan lokal yang harus mampu/berani dan siap untuk dibuka di kota-kota besar seperti Medan, Ujung Pandang, Surabaya, Yogya, Bandung dan Jakarta).
Kedua, Pemerintah daerah /kota dan Pemerintah Provinsi sudah saatnya harus mampu bersatu padu dalam satu komando kepemimpinan(leadrship) Gubernur(eksekutif), DPRD(legislatif) dan penegakan hukum(yudikatif) yang bisa menjadi role model dalam koridor “ one island management” yang mencerminkan keberpihakan untuk sebesar-besarnya bagi krama Bali yang terbebas dari kepentingan pusat.
Penulis pemerhati ekonomi