Sejumlah saksi disumpah sebelum memberikan kesaksian, Selasa (4/1). (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perkara dugaan korupsi pungutan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Banjar Antugan, Desa Jehem, Tembuku, Bangli, kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (4/1). Duduk sebagai terdakwa adalah I Wayan Sudirga, Jro Bandesa Desa Antugan, Jehem.

JPU Kevin Donaque dan IGP. Rahadhyaksa, di hadapan majelis hakim pimpinan Heriyanti menghadirkan empat orang saksi. Mereka adalah I Made Antara Jaya (Verifikasi BPN), I Gusti Ngurah Gede Dharma Arta (BPN Bangli yang kini pindah tugas di Gianyar), Dr. I Nengah Punia dan Ketut Sudiasa.

Dalam keterangan para saksi terungkap bahwa program pelaksanaan PTSL sejatinya gratis. Namun seiring perjalanan, dan berdasarkan SKB tiga menteri, akhirnya disepakati pembiayaan pengurusan sertifikat tanah dibebankan biaya maksimal Rp 150 ribu.

Dana itu untuk biaya materai dalam pengurusan dokumen, biaya patok (dari beton) dan biaya transportasi. Namun faktanya di lapangan, setelah pengurusan sertifikat selesai, warga pengurus PTSL di Banjar Antugan, Jehem, Tembuku, Bangli, dikenai biaya.

Baca juga:  Warga Desa Yehsumbul Datangi Kantor Desa, Tuntut Kelebihan Biaya PTSL

Saksi Dr. Nengah Punia, malah harus merogoh kocek hingga Rp 15 juta plus Rp 2 juta yang diserahkan saudara sepupunya. Jadi, ada total Rp 17 juta yang diserahkan saksi, dengan rincian sesuai kwitansi masing-masing Rp 7,5 juta, Rp 7,5 juta dan Rp 2 juta.

Saat ditanya JPU dari Kejari Bangli, saksi Punia mengatakan bahwa awalnya dia mendapatlan informasi ada PTSL dari terdakwa I Wayan Sudirga selaku Jro Bandesa. Lantas, saksi ditanya apakah dalam pengurusan PTSL ada permintaan uang?

Punia di depan persidangan dengan lugas menceritakan ada dibebankan biaya. “Pada saat itu diminta Rp 15 juta. Terdakwa bilang itu untuk pengurusan sertifikat,” ucap saksi.

Baca juga:  Tahun Depan, Bali akan Jadi Provinsi Pertama yang Tuntas PTSL nya

Satu bidang tanah dibagi dua, masing-masing kena Rp 7,5 juta. Uang itu diserahkan pada terdakwa. Dan Rp 2 juta diserahkan oleh Rencana. Hakim penasaran dengan bunyi kwitansi sehingga JPU diminta memperlihatkan bukti kwitansi, yang bertuliskan “pengurusan sertifikat tanah ayahan desa,” yang kemudian disebutkan atas nama Nengah Punia dan Nyoman Rencana. Atas biaya itu saksi mengaku sempat menawar.

Saksi Sudiasa mengatakan bahwa ada permintaan uang dalam pensertifikatan tanah. Total dia kena Rp 3 juta, terdiri dari emam sertifikat.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar, saksi mengaku diminta Rp 500 ribu persertifikat. Dana itu dirasa sangat berat oleh saksi. Apalagi saksi mengaku sempat mendengar dalam sosialisasi PTSL bahwa dalam program ini tidak dibebankan biaya alias gratis.

Baca juga:  Bunuh Anjing dengan Sajam, Pria Beralamat di Jimbaran Berurusan dengan Aparat

Saksi mengatakan, temannya yang lain juga dimintai walau jumlahnya berbeda-beda. Saksi BPN mengatakan dalam PTSL berdasarkan SKB tiga menteri ada biaya maksimal Rp 150 ribu.

Majelis hakim sempat mencerca pihak BPN agar dalam sosialisasi PTSL semestinya harus dijelaskan secara gamblang dan bisa dipertanggungjawabkan. Rp 150 ribu disetor kemana? “Saksi harus tegas, harus legal, siapa bendaharanya, pengelolanya bagaimana, ada pemasangan patok, pengangkutan, siapa meneirma, mestinya ini jelas. Jangan sampai hanya karena Rp 150 membuat orang dipenjara,” cecar hakim pada saksi BPN.

Lantas, ada konsekuensi jika menerima lebih dari Rp 150? Tanya hakim kembali. Saksi mengatakan tidak ada ketentuan sanksi juga dalam SKB itu. Sementara terdakwa I Wayan Sudirga mengaku tidak tahu soal adanya ketentuan SKB tiga menteri soal biaya Rp 150 ribu. (Miasa/balipost)

BAGIKAN