Oleh Kadek Suartaya
Topeng Dalem atau Arsa Wijaya adalah sebutan untuk sebuah karakter dalam dramatari topeng di Bali. Tokoh yang menggambarkan seorang raja yang arif
bijaksana ini dihadirkan dengan sarat karismatik.
Penampilan tarian ngelembar-nya yang agung, diiringi dengan gending tatabuhan jaran sirig bernuansa tenang, halus, teduh dalam tempo pelan meniti elusan melodi yang anggun nan elegan. Aura kewibawaan figur seorang pemimpin ini divisualisasikan dengan tapel (topeng) berwarna putih cerah dengan tatapan mata berbinar kasih, bibir tersenyum sedikit terbuka berhias kumis tipis klimis.
Puja dan puji terhadap tokoh ini digarisbawahi dengan narasi alunan vokal tandak oleh para abdi (para penasar) yang menyongsong dengan amat takzim.
Denpasar Festival (Denfest) ke-14 yang berlangsung pertengahan Desember 2021 lalu mengusung tema “Arsa Wijaya” yang dimaknai sebagai kemenangan harapan (arsa berarti harapan dan wijaya adalah kemenangan).
Sebuah pilihan tema yang kontekstual di tengah pandemi Covid-19 yang telah dua tahun mendera kita, manusia sejagat. Spirit dari tema ini, selain langsung menggedor harapan kemenangan dalam mengatasi
Corona, namun juga berdimensi kreativitas kultural yang dipercaya mampu menunjukkan solusi ketika melawan nestapa krisis multidimensi.
Ketegaran dan optimisme itu, menariknya langsung digelorakan Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara. Pada pembukaan perhelatan Desfest itu, ia
tampil dengan busana lengkap membawakan tari tokoh Arsa Wijaya.
Dramatari topeng dalam khasanah seni pertunjukan Bali lazim mengangkat lakon dari sumber kisah semi sejarah, babad, atau murni sejarah. Oleh karena itu, karakter tokoh Arsa Wijaya diposisikan sebagai raja
atau pemimpin, apakah itu Dalem Waturenggong (Raja Bali abad XVI), Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (Raja Bali Kuno abad XVI) atau jika berorientasi dengan sejarah Majapahit, bisa jadi yang diperankan
adalah figur Hayam Wuruk (Raja Majapahit 1350-1389).
Di balik topeng Arsa Wijaya sebagai salah satu karakter pokok dalam dramatari topeng di Bali, dijumpai guratan sejarah di mana para pemimpin yang
sedang melakoni kekuasaannya juga secara langsung berkesenian, baik sebagai maesenas seni yang diidolakan maupun sebagai pelaku seni bertabur aura.
Tarian topeng sakral penguasa Majapahit itu membawa tanda-tanda keadaan yang membaik. Di Bali, raja sebagai pangayom seni tentu tak ada yang menyaingi Dalem Waturenggong.
Penguasa pada pertengahan abad ke-16 itu berhasil mengantarkan kebudayaan Bali pada puncak keemasannya. Memasuki zaman republik, dalam konteks keindonesiaan, negeri ini memiliki pemimpin penyayang seni, Bung Karno.
Selain dikenal menaruh perhatian yang serius terhadap seni lukis dan patung, Putra Sang Fajar ini
termasuk seorang presiden penuh minat terhadap jagat seni pertunjukan Indonesia. Beliau rutin mengundang seniman terkemuka ke Istana Jakarta, Bogor, dan Tampaksiring.
Ciptaan tari kerakyatan seperti Tari Tani, Nelayan, Tenun adalah letupan semangat gotong royong yang digelorakan Bung Karno. Tari Janger yang meruyak semarak pada tahun 1960-an dengan lagu yang disertai pekik “ganyang Malaysia” menguak pada era
konfrontasi dengan Negeri Jiran.
Seni adalah bagian dari denyut insani humanis yang mengawal kehalusan budi. Kesungguhan dan ketulusan seorang raja atau para penguasa berkesenian atau mengayomi jagat seni, memberi kontribusi kultural dalam peraduan pelangi peradaban,
berkemilau sepanjang waktu.
Sebaliknya, bila seni diperlakukan hanya sebagai topeng estetinisasi politik kekuasaan semata, tanpa menyelipkan respek sedikitpun kepada kemuliaan seni, tentu tak akan ada jejak nilai yang pantas dipanuti. Gubernur Bali Ida Bagus Mantra dapat diajukan sebagai Sang Arsa Wijaya dengan perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digagasnya mulai
tahun 1979 –kini sudah menapak tahun-tahun penyelenggaraan usia setengah abad— akan menorehkan tinta emas cinta kasih seni budaya di era masyarakat Bali kontemporer.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar