Nyoman "Pongliek" Sudiantara. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai modus dalam menggerogoti dana nasabah di LPD terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar. Di antaranya kredit fiktif, pinjam nama hingga rekayasa buku tabungan. Namun yang menjadi perdebatan, layak kah kasus LPD masuk pidana korupsi?

Praktisi hukum yang juga advokat senior, Nyoman
“Pongliek” Sudiantara berpendapat saat ini, banyak
perkara LPD masuk Pengadilan Tipikor karena kelemahan ada di SDM yang kurang dalam pengelolaann keuangan. “Namun saya berpendapat,
kalau LPD dibidik secara pidana, khususnya Tipikor,
menurut saya kurang pas. Alasannya LPD mengelola penyertaan modal pemerintah sangat kecil. Dan bentuk bantuan pemerintah itu masih rancu,”
ucap Pongliek.

Pun soal menentukan kerugian negara sangat susah, karena penyertaan modal awal yang sedikit. Ketua DPD KAI Bali itu berpendapat, hingga saat ini penyertaan modal pemerintah ke LPD masih rancu. Jika memang murni bagian dari keuangan negara, mestinya bantuannya dalam bentuk hibah.

Baca juga:  Gangguan di KKOP Bandara Tinggi, AP I Gencarkan Sosialisasi

Dia berpendapat, LPD banyak masalah cenderung karena pengurusnya tidak jeli. Mengelola uang dan kontrolnya lemah. “Banyak LPD jatuh karena kolektor melakukan penggelapan dalam jabatan. Mestinya ada punishment untuk menyelamatkan LPD ini,” jelas
Pongliek.

Praktisi hukum lainnnya, Ida Bagus Gumilang Galih Sakti, S.H., M.H., mengatakan pihak aparat hukum lebih cermat menangani kasus LPD. “Mari kita berbenah bersama, LPD adalah milik kita bersama dan mari kita awasi bersama, karena jika tidak kepercayaan masyarakat adat akan LPD di Bali akan
terkikis, sehingga fundamental ekonomi desa adat juga akan bermasalah. Harapan saya kepada aparat
penegak hukum baik dari pihak kepolisian maupun kejaksaan, harus lebih cermat dan teliti dalam menangani setiap perkara korupsi LPD di Bali, apakah korupsi itu terjadi karena adanya niat jahat atau karena salah dalam melakukan tata kelola uang ataupun maladministrasi disebabkan karena kurangnya kompetensi,” ujarnya.

Baca juga:  Pemkab Pastikan Uang 352 Juta Kembali ke LPD Suwat

Ia mengatakan pada 2020, LPD di Bali berjumlah sekitar 1.433 LPD dari total 1.485 DESA Adat di Bali. Mereka melayani pinjaman bagi masyarakat desa.

LPD bukan lembaga keuangan umum, melainkan lembaga keuangan komunitas. ​Konsep hukum di Bali pada prinsipnya mengajarkan kepada warganya untuk menjalankan kewajibannya sebagai krama desa adat, yakni melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa) serta tunduk dan taat terhadap peraturan yang berlaku bagi desa adat (awig-awig). Dari sektor ekonomi, LPD memberikan pelayanan jasa keuangan bagi krama desa adat.

LPD dikelola oleh Bendesa Adat yaitu pemangku tertinggi di desa adat yang mengetuai kelian-kelihan banjar dalam suatu lingkungan adat. LPD memiliki pengurus yang ditunjuk berdasarkan hasil paruman (musyawarah).

Baca juga:  Penghargaan Bagi Perintis LPD dan Launching Program Ajeg Bali

Pengurus LPD adalah warga yang berasal dari tiap banjar yang berada dalam satu desa adat, dan memiliki badan pengawas LPD. Qdanya otonomi yang diberikan oleh Desa Adat untuk pengelolaan LPD menimbulkan kecenderungan lembaga ini menganggap bukan bagian dari desa adat.

Ia menilai maraknya kasus korupsi LPD yang muncul ke permukaan tidak terlepas dari lemahnya pengawasan dan kurangnya kompetensi pengurus LPD maupun lembaga auditor LPD dalam pengelolaan dana krama adat. “Faktanya kebanyakan yang kita lihat di lapangan hanya sedikit pengurus LPD maupuan lembaga auditor LPD yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi,” ujarnya. (Miasa/balipost)

BAGIKAN