Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Sekelompok penduduk di hilir Sungai Petanu, Desa Saba, Blahbatuh, Gianyar, dikenal sebagai penabuh gamelan yang andal. Keterampilan menabuh gamelan ini bersemi sejak tahun 1960-an.

Saat itu, tiada hari tanpa kumandang suara gamelan yang menguak dari bale banjar berlantai semen kasar. Siang, setelah istirahat dari pekerjaan di sawah, beberapa orang laki-laki, bertelanjang dada, rata-rata hanya mengenakan selembar kain kusam, asyik meniti nada-nada gamelan serta dengan ceria mengalirkan melodi, memainkan ornamentasi ragam jalinan atau kotekan yang ditimpali oleh kecipak kendang.

Ketika malam menapak, dengan penerangan lampu minyak, sekitar 30-40 penabuh hadir dalam sebuah kesukacitaan latihan bersama. Tahun 1969, mereka
yang virtuoso menyajikan tabuh kreasi “Manuk Anguci”-nya, disegani dalam lomba gamelan se-Bali, Merdangga Utsawa.

Gemuruh dan antusiasisme kompetisi gamelan se-Bali itu melambungkan nama komunitas penabuh mereka dengan sebutan Gong Pinda. Bumi Seni Kabupaten Gianyar telah berkali-kali mempercayakan grup ini menjadi duta ajang festival (lomba) atau parade dalam pentas mebarung tersebut.

Banjar Pinda yang berlokasi di tebing timur Sungai Petanu pun disegani dan kini masih lekat dengan jejak-jejak seni tatabuhan gamelan, khususnya Gong Kebyar. Bagaimana regenerasi sebagai pegiat gamelan mengalir alamiah, ditunjukkan oleh
para penabuhnya dalam pentas bersanding dengan para pengerawit ISI Denpasar, Jumat malam, 7 Januari 2022 lalu di Wantilan, Pura Desa, setempat.

Baca juga:  Sastra dan Legitimasi Media “Online”

Grup Gong Dharma Kesuma Pinda, selain menampilkan penabuh generasi muda, mereka berhasil menghadirkan pemain reyong legendarisnya, Jero Mangku Penataran (75) dan Ketut Sueta (77), dua penabuh yang terlibat dalam Merdangga Utsawa 1969. Kantong-kantong grup gamelan lainnya di Bali yang juga sempat mengukir reputasi seperti Pinda, di antaranya Sekaa Gong Jaya Kususma
Gladag, Kabupaten Badung (kini Denpasar) dan para penabuh Desa Jagaraga, Kabupaten Buleleng.

Dalam kompetisi Gong Kebyar di arena Pesta Kesenian Bali (PKB), sejak tahun 1980-an bermunculan pula grup-grup penabuh gamelan tangguh, hampir dari seluruh penjuru Bali. Bahkan bukan hanya dalam gendre Gong Kebyar.

Karena itu, ketika UNESCO pada 15 Desember 2021 menetapkan gamelan sebagai warisan budaya dunia–Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), tampaknya bukanlah
menjadi sesuatu yang begitu surprise bagi masyarakat Bali. Mungkin agak berbeda dengan di Pulau Jawa, tempat pewarisan gamelan selain di Bali.

Baca juga:  Ini, Enam Warisan Budaya Denpasar Diusulkan ke UNESCO

Gamelan adalah seni budaya Indonesia ke-12, diakui sebagai warisan budaya dunia yang berhasil terukir dalam daftar WBTB UNESCO. Secara faktual, kini gamelan tidak saja dijumpai di Jawa dan Bali, namun juga menyebar ke penjuru Tanah Air.

Bahkan alat-alat musik gamelan yang sudah dikenal sejak tahun 404 Masehi ini, belakangan mendunia, dicerap sebagai kesenian etnik yang eksotik dan dicermati sebagai objek riset kajian ilmiah. Gamelan Jawa diperkenalkan ke daratan
Eropa oleh Gubernur Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1816.

Dalam perkembangannya kemudian, gamelan Jawa, Sunda dan gamelan Bali kini menyebar di manca negara, dikoleksi museum, dikaji dan diselami secara praktis di universitas-universitas, disuntuki insan perorangan dan kelompok pegiat musik.
Gamelan Bali berawal dikenal secara internasional yaitu pada tahun 1931.

Baca juga:  Kekuatan Demokrasi yang Tidak Kuat

Sebuah sekaa seni pertunjukan dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, dikirim pemerintah Belanda dalam ajang pameran se-dunia di Prancis, I’Exposition Coloniale Internationale. Suguhan gamelan Gong Kebyar, baik berupa konser maupun saat mengiringi puspa warna tarian mengundang decak kagum pengunjung pameran. Dua orang komposer, Francis Poulenc dan Colin McPhee yang hadir menonton, tertambat hatinya dengan gamelan Bali.

Bahkan McPhee langsung bergegas menuju Bali, beberapa tahun belajar dan meneliti gamelan, menghasilkan garapan musik, salah satunya yang terkenal
bertajuk Tabuh-tabuhan. Bagaimana apresiasi masyarakat dunia terhadap gamelan Bali, dirasakan oleh para penabuh gong Pinda sejak tahun 1970-an.

Eberhard Schoener, komposer Jerman, pernah berkolaborasi dengan beberapa penabuh Pinda yang menghasil￾kan album musik eksperimen “Bali Agung” pada tahun 1976. Setelah itu, di tahun 1980-1990-an, sejumlah penekun gamelan dari Amerika seperti Michael Tenzer dan Wayne Vitale datang berguru silih berganti kepada para penabuh Gong Pinda, seperti belajar main kendang kepada I Wayan Kumpul.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN