Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung mengecek lahan Bandara di Kubutambahan, Buleleng. (BP/mud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Bandar Udara (Bandara) Internasional Bali Utara belum akan dibangun tahun ini. Namun, di tengah adanya rencana itu, pengelolaan lahan yang akan dibangun bandara di Desa/Kecamatan Kubutambahan dipersoalkan.

Kisruh ini berujung pada pengaduan warga kepada aparat penegak hukum terkait pengelolaan tanah aset Desa Adat Kubutambahan yang akan dijadikan lahan bandara itu saat ini masih dikelola investor. Menyusul pengaduan itu, tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) melakukan peninjauan ke lapangan Kamis (10/2).

Saat ke lokasi, tim pemberantasan mafia tanah kejagung ini difasilitasi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Buleleng Gede Putu Astawa dan Kepala Seksi (Kasi) Intelijen Kejari Buleleng A.A. Ngurah Jayalantara. Di lokasi tanah milik desa adat, tim pembarantasan mafia tanah ini disambut warga dan tokoh masyarakat setempat.

Baca juga:  Soal Bandara Bali Utara, PHRI Buleleng Minta Kepastian

Setelah melihat dari dekat, tim kemudian membaca peta bidang tanah untuk mengetahui batas-batas tanah desa adat yang sekarang masih dikelola oleh pihak investor. Selain itu, tim ini juga mengumpulkan data di lapangan terkait pengelolaan lahan yang dilakukan oleh pihak investor.

Kurang dari 1 jam di lokasi tanah desa adat, tim pembarantasan mafia tanah ini kemudian meninggalkan lokasi. Tak ada pernyataan dilontarkan tim ini ke wartawan.

Sementara itu, tokoh masyarakat Adat Kubutambahan Ketut Ngurah Mahkota didampingi Gede Suardana mengatakan, tim Pembarantasan Mafia Tanah Kejagung datang ke Kubutambahan setelah pihaknya mengadukan dugaan permainan mafia tanah ke Kejagung. Dirinya, dan pihak terkait lain juga sudah dipanggil untuk memberi klarifikasi terkait pengaduan itu.

“Kami berterima kasih tim pembarantasan mafia tanah kejagung sudah turun ke sini (Desa Kubutambahan-red). Kami ingin masalah pengelolaan tanah desa adat dengan investor ini segara dituntaskan, sehingga rencana pemerintah membangun bandara di daerah kami segara terwujud karena kami mendukung hal itu untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Baca juga:  Residivis Curanmor Ditangkap di Bus Denpasar-Jember

Ngurah Mahkota menambahkan, sejak kisruh ini terjadi, warga mengadukan adanya dugaan permainan mafia tanah di Jakarta ke Polda Bali sebanyak dua kali. Salah satu poin pengaduan ke Polda Bali itu sedang diproses setelah dilimpahkan ke Mapolres Buleleng.

Pengaduan terbaru adalah ke Kejagung. Poin pengaduannya adalah warga keberatan dengan addendum kontrak sewa aset Desa Adat Kubutambahan yang dilakukan pada 2012. Pada kontrak lahan seluas 370,8 hektar dapat diperpanjang. Warga hanya mengakui proses kontrak yang dilakukan pada tahun 2001 silam.

Pada perjanjian itu disebutkan bahwa kontrak akan berakhir pada 2031. Keputusan itu diambil melalui paruman yang disaksikan notaris dan pemerintah daerah.

Baca juga:  Pembangunan Bandara Bali Utara Dijadikan Janji Politik, Masyarakat Nilai Omong Kosong

Dalam kontrak awal juga disebutkan bahwa investor memiliki kewajiban mengelola lahan sebagai kawasan pariwisata. “Ada klausul perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, sampai waktu tidak terbatas. Itu yang membuat kami keberatan, karena tidak dibahas pada paruman,” katanya.

Di samping itu, investor wajib membayar royalti kepada desa adat setelah 5 tahun mengelola tanah milik desa adat. Kalau royalti tidak dibayar, investor dikenakan denda sebesar 3 persen setiap bulan.

Royalti tak kunjung dibayar 3 tahun kemudian, investor dianggap wanprestasi, sehingga kontrak dapat dibatalkan demi hukum. “Faktanya sampai sekarang tidak ada pembangunan terus dan ditelantarkan. Sepertinya investor hanya butuh SHGB untuk dijaminkan di bank, sehingga kami berharap pemerintah serius menyelesaikan masalah ini,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN