Sejumlah wisatawan mancanegara (wisman) berada Pantai Batu Bolong, Canggu, Badung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali berencana menghapus karantina bagi pelaku perjalanan dalam negeri (PPLN) yang berkunjung ke Bali pada Maret 2022. Bahkan, Gubernur Bali Wayan Koster telah memastikan kesiapan Bali menerapkan aturan bebas karantina bagi wisatawan mancanegara (wisman) yang didukung dengan penerapan prokes dan CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environment Sustainability) yang ketat.

Menurut Pengamat kebijakan publik, Dr. I Gede Wirata, S.Sos., SH., MAP., saat ini pemerintah sedang berada di persimpangan jalan. Pasalnya, langkah menghapus karantina bagi wisman akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Bali di tengah maraknya penyebaran varian Omicron.

Namun, ia mengakui kebijakan ini merupakan angin segar untuk membangkitkan pariwisata dan perekonomian Bali. “Pemerintah saat ini ada di persimpangan jalan. Bilamana karantina dihapus, tentu ini akan berdampak kepada kesehatan masyarakat. Kalau karantina masih ditetapkan sesuai dengan aturan, maka perekonomian dan utamanya pariwisata tidak akan bergeliat,” ujar Gede Wirata, Senin (21/2).

Baca juga:  Glamping di Kaldera Batur Menjamur

Meskipun demikian, Wakil Rektor III Univesitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar ini tetap berharap dengan rencana tersebut pariwisata Bali bisa bangkit. Ia meminta pelaku maupun masyarakat Bali harus tetap taat melaksanakan prokes secara ketat.

Sehingga, antara kesehatan dan pariwisata Bali bisa berjalan beriringan. “Mudah-mudahan dengan dihapusnya karantina, pariwisata akan mulai bergeliat dengan satu catatan setiap warga di Bali maupun yang akan ke Bali wajib taat protokol kesehatan. Kemudian daerah yang menjadi tujuan wisata agar benar-benar memberlakukan prokes demi keamanan dan keselamatan kita semua,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Akademisi Hukum Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, SH., MH., menghapus adanya kewajiban untuk karantina bagi wisman sebagai terobosan yang bersifat akomodatif. Kebijakan ini merupakan bagian akomodasi terhadap harapan bagi para pelaku kepariwisataan atau krama Bali yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya dari geliat pariwisata. Sekaligus dalam upaya mendukung pendapatan daerah, tidak saja Pemprov Bali tetapi juga pemerintah kabupaten/ kota.

Baca juga:  PHDI Bali Gelar Lokasabha VII

Rideng mengatakan diperlukan role model dalam rangka menjembatani antara aspek kesehatan dan juga aspek ekonomi. Sebab, sama-sama memiliki peran penting.

Sehubungan dengan itu, formula yang tepat antara kebijakan dalam penanganan aspek kesehatan masyarakat sangat perlu diatensi, pada bagian lain aspek perekonomian tetap berjalan. “Menurut hemat saya, sepanjang wisatawan tersebut telah vaksin 2 kali bahkan sudah booster, yang kemudian pada keberangkatan sudah PCR dan tiba di Bali juga telah PCR dan hasilnya negatif, nampaknya tidak perlu dikarantina lagi” ujarnya.

Baca juga:  Gara-gara Ini, Nenek Jadi Korban KDRT

Namun bagi wisatawan yang datang pada waktu tertentu, misalnya malam hari, sambil menunggu hasil PCR agar tidak muncul keraguan, diharapkan tetap di hotel sambil menunggu hasil PCR. “Bilamana hasilnya positif, tentu diwajibkan untuk isoloasi,” tandas Rideng.

Rideng mengakui, dewasa ini masyarakat Bali telah tumbuh kesadaran terhadap protokol kesehatan. Seperti, penggunaan masker, tidak berkerumun, cuci tangan dan lainnya. Keadaan ini perlu dipertahankan agar kita tidak menjadi bagian dari kluster paparan COVID-19. “Kita harus meyakini bahwa tantangan ke depan akan semakin kompleks, termasuk yang berhubungan dengan kesehatan. Kita senantiasa harus siap menghadapi risiko yang mungkin akan muncul, seperti COVID-19. Mari bersama bergandengan tangan, tanpa pernah menyalahkan siapa pun, termasuk pemerintah,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN