Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Wayang dilarang (haram) dan harus dimusnahkan. Lontaran pernyataan kontroversial ini heboh di media sosial sejak pertengahan Februari 2022 lalu. Penggalan ceramah seorang ustaz yang beredar luas lewat beragam wahana digital di jagat maya tersebut mengundang kecaman, sanggahan serta pelurusan dari banyak kalangan, dari pecinta wayang, para dalang, tokoh-tokoh agama, budayawan hingga pejabat negara.

Adalah Khalid Basalamah menyebut budaya wayang dilarang dalam Islam dan tobat seorang dalang adalah memusnahkan wayang alias dihilangkan. Dakwah Khalid ini menuai gelombang reaksi protes keras. Sang ustaz kemudian buru-buru minta maaf, akan tetapi terkesan hanya berkilah. Ancaman ia akan dipolisikan pun berkobar, misalnya dari Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).

Dunia wayang telah dikenal nenek moyang kita dalam kepercayaan animisme-dinamisme pada zaman prasejarah, sebagai media persembahan dan komunikasi magis dengan arwah leluhur. Setelah masuknya agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali, kebudayaan wayang merasuk ke dalam hati sanubari, relegi dan kultural masyarakatnya. Epos Ramayana dan Mahbharata dari India yang dijadikan sumber pokok lakon wayang, dihayati bahkan dijadikan filosofi serta kiblat perilaku kehidupan. Penyebaran agama Islam di tanah Jawa sejak abad ke-14, bukannya membuat wayang redup, justru kian berbinar. Wayang dipandang halal sebagai media dakwah yang maha ampuh oleh para wali, Walisongo, salah satu yang berperan besar adalah Sunan Kalijaga. Wayang yang telah membumi pada masyarakat Jawa diberi sisipan persuasif ajaran Islam, di antaranya melalui dekorasinisasi bentuk wayang hingga relasinisasi lakon-lakonnya. Lakon anggitan Suna Kalijaga yang terkenal, Dewa Ruci, misalnya, bermuatan ajaran agama Islam.

Baca juga:  Cetuskan Desain Wayang Kulit Pancadatu

Wayang bersemai merekah dan berakar kuat pada era kerajaan di Jawa Dwipa. Pada candi Prambanan peninggalan agama Hindu abad ke-9 dan sejumlah candi (Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Penataran) abad ke-10 di Jawa Timur, terpatri relief wayang yang diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Pada zaman Kerajaan Kediri, wayang dipopulerkan oleh Raja Jayabaya. Seabad kemudian muncul pula  Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa. Bahkan pada era Raja Airlangga itu, wayang telah disebut sebagai kesenian yang amat menggugah penontonnya. Demikian pula dinasti Kerajaan Mataram Islam yang berawal pada abad ke-16 tetap setia melestarikan wayang. Keberadaan wayang tidak hanya disuntuki dalam bentuk Wayang Kulit namun juga bertransformasi menjadi puspa warna seni pertunjukan seperti dramatari Wayang Wong yang di masa lalu diusung sebagai kesenian keraton yang disayangi dan dibanggakan.

Di Bali yang mewarisi ikonografi Wayang Kulit yang realis seperti sebelum pra-Islam, sejak zaman Dalem Waturenggong di abad ke-16, justru menghadirkan wayang dalam ritual agama Hindu yang dianut masyarakatnya. Sejumlah prosesi keagamaan wajib disertai dengan pementasan wayang. Wayang Lemah, misalnya, adalah wayang wingit yang sampai sekarang hadir melengkapi suatu upacara keagamaan yang berkatagori penting.

Baca juga:  Wayang Itu Kita

Wayang di tengah masyarakat Bali juga disajikan sebagai ruwatan dalam sebuah  pementasan spesifik Wayang Sapuh Leger. Bahkan umat Hindu di Pulau Dewata secara rutin setiap enam bulan (kalender Bali, 210 hari) menggelar perayaan memuliakan wayang yang disebut Tumpek Wayang.

Bila kini, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Wayang dengan upacara Jagat Kerti, menunjukkan arti penting wayang sebagai kearifan budaya yang patut disyukuri, dimaknai dan diinternalisasikan di tengah deru globalisasi ini.

Sebagai kesenian, wayang yang kemudian menyebar dan berkembang ke penjuru Nusantara dengan ciri khasnya masing-masing itu, diakui oleh para peneliti asing sebagai teater total yang terindah di dunia. Di Kalimantan Selatan sejak abad ke-15 dikenal adanya Wayang Kulit Banjar. Masyarakat Sumatera Selatan mengenal kesenian Wayang Kulit Palembang yang kental diwarnai oleh wayang gaya Gagrag Yogyakarta.

Di Pulau Lombok ada Wayang Kulit Sasak yang mengangkat sumber lakon dari Serat Menak atau Cerita Panji. Di Sulawesi, khususnya di wilayah lokasi transmigrasi dapat pula dipergoki pementasan wayang Jawa, Sunda (golek) dan Wayang Kulit Bali. Wayang sebagai puncak seni budaya Nusantara telah diakui PBB melalui Unesco pada 7 September 2003, sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan budaya yang indah dan berharga.

Baca juga:  Perempuan di Tahun Politik

Apresiasi tinggi masyarakat dunia (PBB, Unesco) pada wayang, di satu sisi, sungguh mengharukan. Namun di sisi lainnya, ketahuilah, sejak sekitar dua dasa warsa belakangan, fenomena empiris pada wayang menunjukkan atmosfer yang mengkhawatirkan. Di tengah masyarakat Jawa dan Bali, wibawa tontonan wayang tergerus, memudar.

Geliat kreasi dan pembaharuan pada kesenian wayang belum mampu mengembalikan masa kejayaannya seperti dulu. Saripati kehidupan dan nilai-nilai moral  yang dikomunikasikan jagat wayang kalah saing dengan tontonan ringan, enteng dan banal yang ditawarkan hiburan modern masa kini. Jika disrupsi budaya tersebut terus menjalar dan menular, bisa jadi musnahnya wayang tidak memerlukan dalil purutisme agama ala yang dakwahkan Ustaz Khalid Basalamah.

Mungkin, wayang akan pasrah musnah dengan sendirinya, termarginalisasi dalam telanan zaman yang disorientatif tanpa arah. Karena itu, kalau masyarakat Indonesia menghendaki wayang tidak sampai musnah, tunjukan ketulusan kita dengan menyimak dan menontonnya. Mengapresiasi wayang dan karya luhur budaya bangsa adalah langkah bijak penyelamatan dan perlindungan peradaban.

Penulis Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN