BANGLI, BALIPOST.com – Sapi Bali menjadi salah satu hewan ternak yang banyak dipelihara masyarakat. Banyaknya keunggulan yang dimiliki seperti daya adaptasi lingkungannya yang baik dan nilai jual yang tinggi menjadi alasan warga memilih memelihara hewan berkaki empat itu.
Di Kabupaten Bangli jumlah populasi sapi Bali tergolong cukup tinggi. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan (PKP) Kabupaten Bangli, tahun 2021 jumlah populasi sapi Bali di Bangli tercatat sebanyak 68.888 ekor. Jumlah tersebut tersebar di empat kecamatan. Paling banyak di Kecamatan Kintamani yakni 37.688 ekor, disusul Kecamatan Bangli 10.697 ekor, Tembuku 10.671 ekor dan Susut 9.832 ekor.
Data yang dimiliki Dinas PKP juga menunjukan terjadinya peningkatan jumlah populasi dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2017 jumlah populasi sapi di Bangli tercatat sebanyak 64.754 ekor. Kemudian tahun 2018 sebanyak 66.994, 2019 sebanyak 67.480 dan di tahun 2020 sebanyak 68.084 ekor.
Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangli, Made Alit Parwata mengatakan jumlah populasi sapi Bali di Kabupaten Bangli masuk peringkat tiga besar di Bali. Setelah Karangasem dan Buleleng.
Sebagian besar masyarakat di Bangli masih memelihara sapi Bali dengan pola tradisional. Sapi dijadikan sebagai komponen pendukung usaha tani. Hampir setiap petani yang memiliki lahan yang cukup memelihara sedikitnya satu hingga dua ekor sapi. Namun ada juga yang memelihara secara profesional. Benar-benar memelihara sapi sebagai pekerjaan utama. “Kalau yang professional itu rata-rata meliharanya di atas 10 ekor,” kata Alit Parwata.
Pemeliharaan sapi kebanyakan dilakukan dengan sistem penggemukan. Dimana dengan kurun waktu pemeliharaan sekitar dua tahun sapi sudah bisa dijual.
Dalam upaya untuk menjaga dan meningkatkan jumlah populasi sapi di Bangli, Alit Parwata mengatakan upaya yang dilakukan pihaknya yakni melakukan pembinaan terhadap petani/peternak melalui petugas lapangan yang dimiliki. Pihaknya juga melarang petani/peternak untuk memotong sapi betina produktif. “Mengenai larangan memotong sapi betina produktif itu, undang-undangnya sudah ada. Kami selama ini terapkan di Bangli,” jelasnya. Untuk mengawasi adanya pemotongan sapi betina produktif, pihaknya melibatkan sejumlah pihak seperti Satpol PP.
Selain itu, upaya lainnya yang dilakukan yakni dengan menyosialisasikan kawin suntik atau inseminasi buatan. Menurut Alit Parwata tingkat keberhasilan inseminasi buatan lebih tinggi dibandingkan kawin alami. Dengan inseminasi buatan keberhasilannya bisa mencapai di atas 80 persen. Sedangkan kawin alami, keberhasilannya sekitar 50 persen.
Meski saat ini pemerintah pusat sudah tidak lagi menyediakan layanan inseminasi buatan sapi secara gratis sejak tahun lalu, hal itu tidak mempengaruhi semangat warga mengawinkan sapinya. Jumlah populasi sapi Bali di Bangli pun diyakini tidak akan terpengaruh dengan ditiadakannya program itu. “Tidak berpengaruh. Karena sebelum adanya program itu, petani kita di Bangli sudah terbiasa melakukan kawin suntik sapi secara mandiri,” kata Alit Parwata. (Dayu Swasrina/balipost)