Oleh Kadek Suartaya
Gurun adalah wilayah pertama yang disebut Gajah Mada –dari sejumlah kerajaan yang akan ditaklukkannya– dalam sumpahnya untuk menyatukan
Nusantara. Gurun yang merupakan sebutan kuno Lombok itu, berhasil dikuasai oleh Majapahit, pada tahun 1357 Masehi, era Kerajaan Seleparang.
Pekik Sumpah Palapa Gajah Mada “Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun…“, dan seterusnya, pada akhir Januari 2022 lalu digaungkan kembali di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat (NTB) Mataram, Lombok, dalam sebuah garapan seni pertunjukan bertajuk “Satria Nusantara Mahawira” yang dibawakan oleh gabungan insani seni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dan ISI Yogyakarta.
Gurun (Lombok), tampak dalam pentas seni itu, begitu diperhitungkan terwujudnya Nusantara. Wilayah yang di masa lampau juga dikenal dengan nama Selapawis itu, sungguh diperhitungkan petinggi Majapahit seperti yang tertoreh dalam kitab Negarakertagama (1365 Masehi) susunan Mpu Prapanca.
Dalam kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, menyinggung Sasak Lombok sebagai sebuah kesatuan dengan istilah Lombok Sasak Mirah Adi. Kata lombok dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, mirah berarti permata, sasak berarti kenyataan dan adi artinya yang baik atau yang utama.
Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik. Sejatinya, jika melongok ke belakangan, sejarah Lombok tidak selalu lurus namun juga disertai dengan tikungan-tikungan bagaikan sirkuit Mandalika yang kini terhampar mentereng di sana.
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun eksternal yaitu penguasaan dari kerajaan di luar Pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Buddha, memunculkan beberapa kerajaan seperti Selaparang Hindu, dan Bayan.
Kerajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya ditundukan oleh penguasa dari kerajaan Majapahit saat ekspedisi Gajah Mada di abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Karangasem dari Bali pada 1839 Masehi. Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok memberi keberagaman khasanah kebudayaan Sasak, sebagai bentuk dari pertemuan budaya (difusi, akulturasi, inkulturasi).
Akulturasi yang terjalin kuat terajut antara kebudayaan Bali dengan pengaruh kebudayaan Islam. Adalah Raja Anak Agung Anglurah Ngurah Gede Karangasem (1870-1894), penguasa Lombok terakhir, dikenal sebagai pengawal keberagaman yang arif bijaksana mengayomi rakyatnya yang berbhineka agama, suku dan budaya.
Salah satu toleransi saling menghargai yang dibangun sang raja adalah dengan mengambil istri dari suku Sasak yang beragama Islam, Dinda Aminah. Melalui hubungan perkawinan, Raja Agung Ngurah menerapkan sistem keseimbangan dalam masyarakatnya. Kesadaran akan keragaman budaya juga dapat kita simak dari legenda asal usul nama Gunung Rinjani.
Sumber susantra Hindu, epos Ramayana, menyodorkan referensi tokoh Dewi Anjani sebagai interpretasi dari nama Rinjani. Sementara, Rinjani diambil dari Anjani–penyebar agama Islam–juga kokoh bersemayam dalam tradisi lisan dongeng masyarakat Sasak.
Penerimaan tersebut menunjukkan rasa saling menghargai yang sarat kasih. Kasih terhadap kehidupan yang plural di tengah masyarakat Pulau Lombok ini juga dapat dikontekstualkan dari dongeng Putri Mandalika.
Sebagai putri raja yang kecantikannya diidamkan oleh para pangeran dari penjuru jagat, Mandalika tidak memilih siapa pun dari para pangeran yang sengit adu tanding untuk memperistri dirinya. Sang putri memutuskan dirinya dimiliki oleh semua orang.
Ia menceburkan diri ke tengah laut dan berubah wujud menjadi cacing laut alias nyale dalam bahasa Sasak. Bila direnungi dari perspektif kontemporer, sungguh
mulia kearifan lokal yang diajarkan dongeng itu
khususnya pada penduduk Pulau Lombok yang
beragam.
Sungguh, Putri Mandalika dalam konteks kebangsaan Indonesia adalah wanita agung yang cinta damai dan pengusung bhineka tunggal ika sejati. Tidak sedikit kearifan lokal Nusantara mengajarkan masyarakatnya memuliakan keragaman bangsa.
Bahkan ajaran moral bagaimana menghormati dan menerapkan keragaman tersebut telah dilantunkan dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada era kejayaan Majapahit di abad ke-14. Petikan sasanti bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa itu, oleh para pendiri bangsa kita, disematkan pada lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Garuda Pancasila. Demikian juga dengan Putri Mandalika, telah mengedukasi kebhinekaan warganya dalam bermasyarakat dan bernegara.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI
Denpasar