Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster terkait Instruksi Gubernur Bali Nomor 05 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Landep Dengan Upacara Jana Kerthi Sebagai Pelaksanaan Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Bali menuai apresiasi. Yakni, dari Guru Besar Bidang Sosiologi Pendidikan Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar. Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si., dan akademisi Unhi Denpasar, I Gusti Ketut Widana.

Prof. Suda, Jumat (25/3), mengatakan diketahui bersama bahwa Bali sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, nilai kearifan sosial, dan nilai-nilai kearifan tradisional. Tradisi dan nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan filsafat agama dan seni, misalnya dapat berupa teks-teks sastra tradisional dalam bentuk kekawin, kekidung, sekaa arja, sekaa santhi, dan yang lain-lain.

Sementara kearifan lokal dalam bentuk upacara keagamaan banyak berkaitan dengan perayaan hari-hari suci agama Hindu, seperti hari raya Galungan, Kuningan, kajeng keliwon, tumpek wayang, tumpek krulut, tumpek uye, tumpek wariga, tumpek kuningan, dan tumpek landep. Namun, di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, maka makna dari setiap kearifan lokal tersebut kurang dipahami oleh masyarakat dalam era kekinian, khususnya generasi milenial.

Misalnya, apa makna filosofis dari perayaan hari raya tumpek uye, tumpek wariga, dan juga tumpek landep tampaknya tidak banyak dipahami oleh kalangan muda saat ini. Hal ini disebabkan, dalam kehidupan masyarakat modern tidak hanya nilai-nilai kearifan lokal yang mengalami pergeseran, akan tetapi nilai-nilia spritualisme masyarakat juga ikut bergeser, yakni dari spiritualisme tradisional ke spiritualisme modern.

Baca juga:  Tumpek Landep Dijadikan Hari Pusaka

Dijelaskan, ciri-ciri spiritualisme modern meliputi, individualisme, bersifat dualisme dikotomis, bersifat futuristik, dan bersifat materialisme atau ekonomisme. Akibatnya, nilai-nilai yang bersifat adiluhung dalam konteks nilai kearifan lokal, nilai kearifan tradisional, dan nilai kearifan sosial, cenderung dilupakan.

Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terus-menerus, sebab dikhawatirkan semua nilai kearifan lokal bisa tunduk pada hegemoni dan dominasi kebudayaan global. “Mengacu pada pesoalan tersebut, maka menurut hemat saya sangat tepat jika Gubenur Bali mengeluarkan instruksi tentang pemaknaan terhadap setiap hari suci keagamaan yang ada di Bali. Sebab semua perayaan hari suci sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang sangat adiluhung yang dapat berfungsi sebagai penjaga kelangsungan identitas kultural masyarakat Bali,” ujar Prof. Suda.

Menurutnya, perayaan hari raya Tumpek Landep secara filosofis mempunyai makna yang sangat tinggi. Di dalam perayaan hari suci tumpek landep tekandung makna pelaksanaan tata-titi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Misalnya, kata landep di belakang kata tumpek itu sebenarnya mengandung arti “lancip’”.

Yang lancip tidak lain dan tidak bukan adalah pikiran manusia itu sendiri, sehingga mampu menciptakan berbagai kebudayaan yang dapat memudahkan manusia itu sendiri dalam menjalani kehidpannya. “Hal ini tentu sangat beriringan dengan visi pemerintah Provinsi Bali, yakni Nangun Sad Kerthi Loka Bali, salah satunya adalah Jana Kerthi, yang artinya memuliakan umat manusia. Hal ini harus dipahami oleh seluruh umat Hindu di Bali, sehingga dalam merayakan hari suci Tumpek Landep tidak terkesan hanya sekadar rutinitas belaka. Melainkan mampu memahami baik nilai filosofis, maupun nilai simbolis yang terkandung di balik perayaan hari suci Tumpek Landep tersebut,” tandasnya.

Baca juga:  Gara-gara Ini, Petani Cabai Demulih Gagal Panen

Sementara itu, I Gusti Ketut Widana, mengatakan secara filosofi, ritual Tumpek Landep mengandung arti menajamkan pikiran (landeping idep), guna mencermati dan menghadapi setiap fenomena, dinamika dan realita kehidupan yang semakin menuntut kehadiran manusia berkualitas, Korelasinya dengan Jana Kertih, tiada lain berarti memuliakan manusia dengan cara membangun, membentuk dan menjadikannnya sebagai insan berkualitas, baik lahiriah (Wahya) maupun rohaniah (Adyatmika).

Jika melalui Atma Kerthi membangun dimensi spiritual, lalu Samudra, Wana dan Danu Kerthi berhubungan dengan menciptakan lingkungan alam serasi, harmoni dan lestari. Sedangkan Jagat Kerthi menjalin relasi sosial yang kondusif dan produktif.

Keberhasilan merealisasikan gagasan ideal Sad Kerthi sangat tergantung pada unsur manusianya, yaitu Jana Kerthi – terbangunnya manusia seutuhnya.

“Bagaimana manusia seutuhnya itu? Berangkat dari asal katanya “Manu” tiada lain adalah manusia yang secara bijaksana mampu mensinergikan penggunaan unsur Bayu (tenaga/energi), Sabda (suara/wacana) berdasarkan Idep pemikiran cerdas dan cemerlang untuk sebesar-besarnya membangun peradaban (adat), berbasis kebudayaan (Bali) dan nilai-nilai ajaran agama (Hindu). Melalui sinergi ritual Tumpek Landep dan Jana Kerthi semua itu dapat diwujudkan,” ujarnya.

Merujuk pandangan filsafat Samkhya, manusia terbangun atas dua unsur yaitu Purusa (jiwani/rohani) dan Prakrti (bendani/materi). Pertemuan dua unsur ini menjadi penyebab  manusia lahir ke dunia ini. Purusa memiliki kesadaran yang disebut Citta, tetapi setelah bertemu dengan Prakrti muncul Klesa. Kekuatan Citta melahirkan kecenderungan kedewaan (Daiwi Sampad) dan pengaruh Klesa melahirkan kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad).

Baca juga:  Gubernur Koster Gelar Upacara Jana Kerthi Pada Rahina Tumpek Landep di Pura Pangukur-ukur

Daiwi Sampad membawa manusia lebih banyak berbuat Subha Karma (perbuatan baik dan benar). Sedangkan Asuri Sampad mendorong orang lebih banyak berbuat Asubha Karma (perbuatan buruk atau jahat).

Melalui ritual Tumpek Landep dan Upacara Jana Kerthi, gejolak Klesa yang mengejawantah ke dalam Guna Rajas (sifat-sifat dinamis) dan Tamas (apatis) itulah wajib dikendalikan agar muncul kekuatan Citta menguasai pikiran. Jikalau Klesa dikuasai Citta maka akan terbangun manusia yang memiliki sifat sosial kohesif, sikap mental positif, watak atau karakter konstruktif berlandaskan tuntunan ajaran moral-spiritual, sebagai media membangun/membentuk apa yang disebut manusia seutuhnya.

“Selama ini pelaksanaan Tumpek Landep dan juga Upacara Jana Kerthi masih sebatas dalam bentuk ritualistik simbolik ekspresif. Kini, dengan dikeluarkannya instruksi Gubernur Bali, sudah saatnya dinaikkan kelas/derajat levelnya ke tingkatan intelektual (jnana-tattwa).

Sebab substansi Tumpek Landep dan Jana Kerthi sejatinya adalah sebuah proses pendakian, dari ritual berbasis material, lalu melewati pencerahan intelektual, kemudian bergerak vertikal (ke atas) mencapai puncak kesadaran spiritual. Namun dalam impelemntasinya tetap bermanuver secara horizontal pada tatanan sosial, dan tak kalah penting lagi pada tuntutan environmental yang semakin membutuhkan atensi agar tetap terjaganya harmonisasi alam dalam keserasian dan keseimbangan (equilibrium),” tandasnya.

Momentum Tumpek Landep dan Jana Kerthi, diharapkan dapat menjadi motivasi, inspirasi dan sugesti bagi umat untuk tampil sebagai manusia utuh, teguh dan kukuh, tidak mudah rapuh apalagi sampai runtuh dalam mengemban amanat ‘nglandepin idep’ (menajamkan pikiran) sekaligus ‘ngertiyang jana’ – memuliakan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berharkat mulia, berderajat susila dan bermartabat dewata. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *